BAB I
PENDAHULUAN
Alqur’an merupakan kitab suci kaum muslimin. Kumpulan wahyu ini
dinamakan alqur’an, sebagaimana ungkapan yang dikenalkan dalam banyak ayatnya,
yang artinya bacaan. Karena itu, sesuai
dengan namanya, kitab suci ini mesti dibaca yang tujuannya agar makna dan ajarannya
dapat dipahami, selanjutnya diamalkan dan diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Karena hanya dengan kegiatan
itu mereka akan mengetahui apa saja tuntunan ilahi yang wajib dijadikan pedoman
dan petunjuk dalam kehidupan sehari-hari. Satu hal yang harus diperhatikan
adalah bahwa cara membaca al-Qur’an itu tidak sama dengan membaca buku-buku
yang berbahasa Arab. Maksudnya, adalah ada aturan-aturan khusus dalam membaca.
Bahkan para ulama sepakat bahwa membaca al-Qur’an dengan cara
khusus,yaitu dengan kaidah tajwid. Kesalahan pada bacaan, baik itu karena tidak
diperhatikan panjang atau pendeknya kata, tebal atau tipisnya huruf, mendengung
atau jelasnya kata yang diucapkan, dan sebagainya tentu akan dapat mengubah
makna atau maksud yang sesungguhnya.
Karena al-Qur’an adalah bahasa Arab. Dan menirukan dialek orang
Arab ini memerlukan kesungguhan dan latihan terus menerus. Jika sudah sampai
pada tingkat mahir, maka tidak ada perbedaan antara orang Arab dan non-Arab.
Maka tidak heran, banyak ulama yang mengarang kitab-kitab secara khusus membahas
masalah al-Qur’an, terutama masalah qiro’at.
a.
Apa pengertian
qira’at al-qur’an ?
b.
Bagaimana latar
belakang timbulnya qira’at ?
c.
Bagaimana penjelasan qira’at ?
Sebagai bentuk pengetahuan tentang qira’at dalam al-qur’an dan
mengetahui macam-macam qira’at serta pengaruh dalam hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
Secara
etimologi, lafal qira’at ( قراءة ) merupakan bentuk masdar dari ( قرأ ) yang artinya bacaan.
Sedangkan menurut terminologi, terdapat berbagai ulama yang sehubungan dengan pengertian
qira’at.
Menurut
Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli bahwasanya qira’at
adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an,
baik yang disepakati maupun yang diikhtilapkan oleh para ahli qira’at, seperti
hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), washl (menyambung huruf),
ibdal (menggantiukan huruf atau lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat
melalui indra pendengaran.”
Dari
definisi-definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-Qur’an berasal dari Nabi
Muhammad SAW, melalui al-sima ( السماع ) dan an-naql ( النقل ). Berdasarkan uraian di
atas pula dapat disimpulkan bahwa:
• Yang dimaksud qira’at dalam bahasan ini, yaitu cara pengucapan lafal-lafal
al-Qur’an sebagaimana di ucapkan Nabi atau sebagaimana di ucapkan para sahabat
di hadapan Nabi lalu beliau mentaqrirkannya.
• Qira’at al-Qur’an diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW, baik secara fi’liyah
maupun taqririyah.
• Qira’at al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi qira’at dan
adakalanya memiliki beberapa versi.
Selain itu ada beberapa ulama yang mengaitkan
definisi qira’at dengan madzhab atau imam qira’at tertentu. Muhammad Ali
ash-Shobuni misalnya, mengemukakan definisi sebagai berikut: “Qira’at merupakan
suatu madzhab tertentu dalam cara pengucapan al-Qur’an, dianut oleh salah satu
imam qira’at yang berbeda dengan madzhab lainnya, berdasarkan sanad-sanadnya
yang bersambung sampai kepada Nabi SAW.”
Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan
suatu Qira’at al-Qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada
orang-orang sesudahnya. Istilah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. القرأة : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan
kepada salah seorang imam qira’at tertentu seperti qira’at Nabi umpamanya.
2. الرواية : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan
kepada salah seorang perawi qira’at dari imamnya.
3. الطريق : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan
kepada salah seorang pembaca al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi
qira’at tertentu.
2.2. Latar
belakang timbulnya qira’at
Qira’at sebenarnya telah muncul
semenjak Nabi SAW masih ada walaupun tentu saja pada saat itu qira’at
bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung
asumsi diatas :
Pertama : Suatu ketika ’Umar bin Al-Khaththab berbeda pendapat dengan Hisyam bin
Hakim ketika membaca ayat al-Qur’an. ’Umar tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu
ia membaca surat Al-Furqan. Menurut ’Umar, bacaan Hisyam tidak benar dan
bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan
pula bahwa bacaannya juga berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak
menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa diatas. Nabi menyuruh Hisyam
mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi
bersabda :”Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan, Sesungguhnya al-Qur’an ini
diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap
mudah dari tujuh huruf itu.
Kedua : Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita : ”Saya
masuk kemasjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan
membaca surat an-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya. Setelah
selesai, saya bertanya, ”Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?”Ia
menjawab, ”Rasulullah SAW”. Kemudian, datanglah seseorang yang mengerjakan
shalat dengan membaca permulaan surat an-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan
bacaan saya dan bacaan teman tadi. Setelah shalatnya selesai, saya bertanya,”
Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu ? ”Ia menjawab, ”Rasulullah SAW”.
Kedua orang itu lalu saya ajak menghadap Nabi. Setelah saya sampaikan masalah
ini kepada Nabi, beliau meminta salah satu dari kedua orang itu membacakannya
lagi surat itu. Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda, Baik. Kemudian, Nabi
meminta kepada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnay
baik.
Selanjutnya periodesasi qurra’ adalah sejak zaman
sahabat sampai dengan masa tabi’in. Orang-orang yang menguasai Al-Qur’an ialah
yang menerimanya dari orang-orang yang dipercaya dan dari imam ke imam yang
akhirnya berasal dari Nabi. Sedangkan mushaf-mushaf tersebut tidaklah bertitik dan
berbaris, dan bentuk kalimat didalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai
bacaan. Kalau tidak, maka kalimat itu harus ditulis pada mushaf dengan satu
wajah yang lain dan begitulah seterusnya. Tidaklah diragukan lagi bahwa
penguasaan tentang riwayat dan penerimaan merupakan pedoman dasar dalam bab qira’ah
dan al-Qur’an.
Kalangan sahabat sendiri dalam pengambilannya dari Rasul
menggunakan sara berbeda-beda. Ada yang membaca dengan sat u huruf. Bahkan, ada
yang lebih dari itu. Kemudian mereka tersebar keseluruh penjuru daerah.
Kebijakan Abu Bakar Siddiq
yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain selain yang telah disusun Zaib
bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki Ibn Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari,
Miqdad bin amar, Ubay bin Ka’ab, dan Ali bin Abi Thalib, mempunyai andil besar
dalam kemunculan qiraat yang kian beragam. Perlu dicatat bahwa
mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusun Zaid bin Tsabit dan
kawan-kawannya, kecualai pada dua hal saja, yaitu kronologi surat dan sebagian
bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahjah tersendiri karena
mushaf-mushaf itu merupakan catatan pribadi mereka masing-masing.
Adanya mushaf-mushaf itu
disertai dengan penyebaran para qari’ ke berbagai penjuru, pada gilirannya
melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya qiraat yang
semakin beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa dan
akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan Aarabin sehingga pada
akhirnya perbedaan qiraat itu sudah pada kondisi sebagaimana yang
disaksikan Hudzaifah Al-Yamamah dan yang kemudian dilaporkannya kepada ’Utsman.
Ketika mengirim mushaf-mushaf keseluruh penjuru kota, khalifah Utsman
r.a. mengirimkan pula para sahabat yang memiliki cara membaca tersendiri dengan
masing-masing mushaf yang diturunkan. Setelah para sahabat berpencar keseluruh
daerah dengan bacaan yang berbeda itu, para tabi’in mengikuti mereka dalam hal
bacaan yang dibawa oleh para sahabat tersebut. Dengan demikian,
beraneka-ragamlah pengambilan para tabi’in, sehingga masalah ini menimbulkan
imam-imam Qari’ yang masyhur yang berkecimpung didalamnya, dan mencurahkan
segalanya untuk qiraat dengan memberi tanda-tanda serta
menyebarluaskannya.
Tatkala para qori pada
masa tabi’iin yaitu pada awal abad II H tersebar ke berbagai pelosok. Mereka
lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qiraat
imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan turun-temurun dari
guru ke guru, sehingga sampai kepada imam-imam qira’at, baik yang tujuh,
sepuluh, atau yang empat belas.
Imam-Imam qira’at
bekerja kerasa sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga bisa
membedakan antara bacaan yang benar dan
yang salah.
Mereka mengumpulkan qira’at,
mengembangkan wajah-wajah dan dirayah.
Sesudah itu para Imam
menyusun kitab-kitab mengenai qira’at. Orang pertama kali menyusun qira’at
dalam satu kitab adalah Abu Ubaidillah al-Qasim bin Salam. Ia telah
mengumpulkan qiraat sebanyak kurang lebih 25 Macam. Kemudian menyusul imam-imam
lainnya. Diantara mereka, ada yang menetapkan 20 macam. Ada pula yang
menetapkan dibawah bilangan itu. Persolan qiro’at terus berkembang sampai masa
Abu Bakar Ahmad bin Abbas bin Mujahid yang terkenal dengan nama ibn Mujahid.
Dialah orang yang meringkas menjadi tujuh macam qira’at yang disesuai dengan
tujuh imam qori’. Berkat jasanya dapat diketahui mana qira’at yang dapat
diterima dan mana yang ditolak.
2.3. Pengertian qira’at
Ketahuilah bahwa al-Qadhi Jalaluddin mengatakan, “Qira’ah terbagi menjadi qira’ah
yang mutawatir, ahad, dan syadz. Termasuk qira’ah mutawatir adalah qira’ah
sab’ah yang masyhur, yang ahad adalah qira’at tiga yang merupakan pelengkap
hingga menjadi sepuluh dan termasuk kedalam bagian ini qira’ah-qira’ah para
sahabat, yang syadz adalah qira’ah para tabiin seperti, A’masy, Yahya bin
Witsab, ibn Jubair dan lain-lainnya.
Orang terbaik yang pernah membicarakan permasalahan ini adalah seorang imam
para qurra’ dimasanya, seorang guru dari semua guru kami, yaitu Abul Khair bin
Al-Jazairi. Dia mengatakan dalam permulaan kitabnya, an-Nasyar, ”semua qira’ah
yang bersesuaian dengan bahasa arab, walaupun dari satu segi, bersesuaian
dengan Mushaf-Mushaf Ustmani walaupun dengan suatu penafsiran, dan shahih
sanadnya maka itu adalah qira’ah yang benar yang tidak boleh ditolak dan
diingkari bahkan itu termasuk bagian dari huruf-huruf yang tujuh yang dengannya
Al-Qur’an diturunkan.
Hal itu
ditegaskan oleh Ad-Dani, makiy, Al-mahdawi, Abu Syamah. Ini adalah mazhab ulama
salaf yang tidak diketahui adanya seorang pun diantara mereka yang menentang.
Kemudian Ibnul
Jazari berkata. “perkataan kami pada defiisi : “wala upun dari satu segi”,
maksudnya adalah salah satu pendapat dalam nahwu, baik yang paling fasih maupun
yang fasih, yang disepakati maupun yang diperselisihkan dengan suatu
perselisihan yang tidak terlalu besar, jika qira’ah itu diantara
qira’ah-qira’ah yang terkenal dan diterima oleh para imam dengan sanad yang
shahih. Banyak qira’ah yang diingkari oleh beberapa ulama nahwu atau kebanyakan
mereka tetapi pengingkaran mereka tidak di anggap seperti sukun pada
: بارئكم (QS.Al-Baqarah : 54) dan ياء مركم (QS. Al-Baqarah : 67),
bacaan jar pada :وا
لارحام (QS. An-Nisa’: 1), nashab pada ما ليجزى قو, pemisah antara mudhaf dan mudhaf ilaihi
pada قتل اولاد هوم شركاهوم , dan lain-lain.
Ibnul Jazari
berkata, “yang kami maksud dengan persesuaian dengan salah satu mushaf adalah
jika bacaan itu shahih pada satu mushaf dan tidak terdapat pada mushaf yang
lain. Seperti bacaan Ibnu Amir : قالوا اتخذ الله
dalam surat al-Baqarah : 116 tanpa wawu, dan با لزبر وبالكتاب (QS.Ali-Imran: 184) dengan huruf ba’ pada
keduanya, karena qira’ah itu shahih pada Mushaf syam. Juga seperti bacaan Ibnu
Katsir تجري من تحتها الانهار (QS. at-Taubah: 100) pada akhir surat
Bara’ah dengan tambahan huruf من karena qira’ah itu shahih pada mushaf
Makkah, dan lain-lain. Jika qira’ah itu tidak terdapat pada salah satu Mushaf
Utsmani maka itu adalah syadz, karena berbeda dari tulisan yang telah
disepakati (ijmak).
Menurut
pendapat saya, Ibnul Jazari telah menjelaskan hal ini dengan sangat baik.
Menjadi jelas bagi saya bahwa qira’ah itu bermacam-macam.
Pertama, qira’ah yang mutawatir, yaitu yang diriwayatkan oleh orang banyak
yang tidak mungkin mereka sepakat untuk berbohong dari orang-orang yang
keadaanya seperti mereka ini sampai terakhir. Seperti inilah kebanyakan qira’ah
itu.
Kedua, qira’ah yang masyhur, yaitu yang shahih sanadnya tetapintidak
sampai kepada derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan penulisan
serta masyhur dikalangan para qurra’. Mereka tidak menganggapnya sebagai
kesalahan atau sebagai yang syadz. Qira’ah sepeti inilah yang dikatakan
oleh Ibnul Jazari dan seperti yang dipahami dari perkataan Abu Syamah yang
telah lalu, boleh digunakan untuk membaca Al-Qur’an. Sebagai contoh adalah berbagai
perbedaan riwayat dari para imam yang tujuh. Sebagian perawi menyebutkan suatu
riwayat yang tidak disebutkan oleh yang lainnya. Contoh-contoh hal ini banyak,
seperti bagian yang pertama dalam kitab-kitab qira’ah. Diantara kitab yang
masyhur tentang hal ini adalah at-Taisir karya Ad-Dani, qshidah yang ditulis
oleh Asy-Syaithibi, dan Au’iyatun Nasyir fil Qira’atil ‘Asyr serta
Taqribun nasyir yang keduanya adalah karya Ibnul Jazari.
Ketiga, qir’ah yang ahad, yaitu yang shahih sanadnya dan berbeda dengan
kaidah bahasa dan penulisan, tidak masyhur seperti bagian yang kedua, dan tidak
dijadikan sebagai pedoman untuk membaca Al-Qur’an. Tirmidzi dan jami’-nya dan
hakim dalam mustadrak-nya telah satu bab, yang mereka berdua banyak
meriwayatkan hadist yang shahih sanadnya. Cotohnya adalah yang diriwayatkan ole
Hakim dari jalur Ashim al-Juhdari dari Abu Bukrah dari Rasulullah saw. Bahwa
dia membaca :
متكئين على رفرف خضر وعبقري حسا ن
“ Mereka bertelekan diatas bantal-bantal yang hijau dan permadani
yang indah-indah.”
Dia meriwayatkan dari hadits Rasulullah saw. Membaca :
فلا تعلم نفس ما اخفي لهم من قرة اعين
“ seorang pun
tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu, bermacam-macam
nikmat yang menyedapkan pandangan.”(QS. as-Sajadah: 17)
.
Dia meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa
Rasulullah saw. Membaca :
لقد جاءكم رسول من انفسكم
“telah
datang kepada kalian seorang rasul dari yang paling terhormat diantara kalian.”
(QS. at-Taubah: 128) dengan bacaan fathah dan fa’.
Dia
meriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. Membaca :
فروح وريحان
“Maka dia memperoleh ketentraman dan rezeki” (QS.al-Waqiah: 89)
dengan bacaan dhammah pada ra “yang pertama.
Keempat, qira’ah yang
syadz, yang tidak shahih sanadnya. Banyak kitab yang disusun mengenai hal ini.
Contohnya adalah : ملك يوم الد ين
dengan fi’il madhi, dan bacan nasab pada يوم
serta ك يعبدايا dengan fi’il
mabni lil majhul.
Kelima,qira’ah yang
maudhu’(palsu), seperti qira’ah-qira’ah al-Khuza’i.
Umar
berkata,”aku tidak mengehui apakah itu merupakan qira’ahnya ataukah merupakan
tafsirnya”(diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur). Al-Anbari meriwayatkan darinya
dan dia mengaskan bahwa itu adalah tafir darinya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan
bahwasannya:
1. Qira’at Al-Qur’an adalah ilmu
yang mempelajari cara mengucapkan lafadz-lafadz al-Qur’an.
2. Qira’at ini
muncul pada masa nabi Muhammad SAW sampai sekarang.
3.
Orang yang pertama kali menyusun qira’at dalam satu buku adalah Abu
Ubaidillah Al-Qasim bin Salam kemudian imam-imam lainnya mulai menyusun
qira’at.
4.
Dari segi kuantitasnya qira’at terbagi menjadi tiga yaitu Qira’ah Sab’ah
(Qira’at Tujuh), Qira’at ‘Asyarah (Qira’at Sepuluh), dan Qira’at ‘Arba’at
Asyarah (Qira’at Empat Belas). Dan dari segi kualitasnya Qira’at terbagi
menjadi enam macam yaitu Qira’ah Mutawatir, Qira’ah Masyhur, Qira’ah Ahad,
Qira’ah Syadz (menyimpang), Qira’ah Maudhu (palsu) dan Qira’at Mudraj.
5.
Yang dimaksud dengan al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf adalah memberi
kelonggaran kepada umat manusia dalam membaca al-Qur’an sesuai dengan bacaan
yang mudah bagi mereka. Namun, bacaan ayat-ayat al-Qur’an tidak boleh dibaca sesuka
hati si pembacanya karena sudah ada aturan yang sesuai dengan yang diajarkan
Rasulullah.
6.
Di dalam penetapan hukum,
qira’at dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para
ulama.
Dengan sangat menyadari bahwa makalah kami
masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami menyarankan kepada
pembaca untuk memberikan sumbang saran
serta kritikan dalam memperbaiki makalah kami untuk yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
v Ridwan202.2010.
QIRA’AT AL-QUR’AN,(online) ( https://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/qiraatul-quran/ ,diakses 17 september
2016)
v Moh.Badrus
Sholeh.2011. Latar Belakang Timbulnya perbedaan Qira’at , (online)(http://badrussholehjember.blogspot.co.id/2011/08/latar-belakang-timbulnya-perbedaan.html ,diakses 17 September 2016
)
v Ali tahufan
DS.2015. Ilmu Qira’at (Macam Qira’at, Syarat Diterimanya dan Seputar Qira’at
Sab’ah, Asyrah dan Arba Asyar), (online) ( http://alitopands.blogspot.co.id/2015/02/ilmu-qiraat-macam-qiraat-syarat.html diakses 17 September 2016 )
v Suyuti, Imam,
2008, studi al-Qur’an komprehensif, Surakarta : indiva pustaka.
No comments:
Post a Comment