Sunday, February 13, 2022

Qiraatul Qur'an

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.        Latar Belakang

Alqur’an merupakan kitab suci kaum muslimin. Kumpulan wahyu ini dinamakan alqur’an, sebagaimana ungkapan yang dikenalkan dalam banyak ayatnya, yang artinya  bacaan. Karena itu, sesuai dengan namanya, kitab suci ini mesti dibaca yang tujuannya agar makna dan ajarannya dapat dipahami, selanjutnya diamalkan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

 Karena hanya dengan kegiatan itu mereka akan mengetahui apa saja tuntunan ilahi yang wajib dijadikan pedoman dan petunjuk dalam kehidupan sehari-hari. Satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa cara membaca al-Qur’an itu tidak sama dengan membaca buku-buku yang berbahasa Arab. Maksudnya, adalah ada aturan-aturan khusus dalam membaca.

Bahkan para ulama sepakat bahwa membaca al-Qur’an dengan cara khusus,yaitu dengan kaidah tajwid. Kesalahan pada bacaan, baik itu karena tidak diperhatikan panjang atau pendeknya kata, tebal atau tipisnya huruf, mendengung atau jelasnya kata yang diucapkan, dan sebagainya tentu akan dapat mengubah makna atau maksud yang sesungguhnya.

Karena al-Qur’an adalah bahasa Arab. Dan menirukan dialek orang Arab ini memerlukan kesungguhan dan latihan terus menerus. Jika sudah sampai pada tingkat mahir, maka tidak ada perbedaan antara orang Arab dan non-Arab. Maka tidak heran, banyak ulama yang mengarang kitab-kitab secara khusus membahas masalah al-Qur’an, terutama masalah qiro’at.

1.2              Rumusan masalah

a.       Apa pengertian qira’at al-qur’an ?

b.      Bagaimana latar belakang timbulnya qira’at ?

c.        Bagaimana penjelasan qira’at ?

1.3.        Tujuan penulisan

Sebagai bentuk pengetahuan tentang qira’at dalam al-qur’an dan mengetahui macam-macam qira’at serta pengaruh dalam hukum.

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1.        Pengertian qira’at

Secara etimologi, lafal qira’at ( قراءة ) merupakan bentuk masdar dari ( قرأ ) yang artinya bacaan. Sedangkan menurut terminologi, terdapat berbagai ulama yang sehubungan dengan pengertian qira’at.

Menurut Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli bahwasanya qira’at adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diikhtilapkan oleh para ahli qira’at, seperti hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal (menggantiukan huruf atau lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat melalui indra pendengaran.”

Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW, melalui al-sima ( السماع ) dan an-naql ( النقل ). Berdasarkan uraian di atas pula dapat disimpulkan bahwa:
• Yang dimaksud qira’at dalam bahasan ini, yaitu cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an sebagaimana di ucapkan Nabi atau sebagaimana di ucapkan para sahabat di hadapan Nabi lalu beliau mentaqrirkannya.
• Qira’at al-Qur’an diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW, baik secara fi’liyah maupun taqririyah.
• Qira’at al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi qira’at dan adakalanya memiliki beberapa versi.

 Selain itu ada beberapa ulama yang mengaitkan definisi qira’at dengan madzhab atau imam qira’at tertentu. Muhammad Ali ash-Shobuni misalnya, mengemukakan definisi sebagai berikut: “Qira’at merupakan suatu madzhab tertentu dalam cara pengucapan al-Qur’an, dianut oleh salah satu imam qira’at yang berbeda dengan madzhab lainnya, berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Nabi SAW.”
Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu Qira’at al-Qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada orang-orang sesudahnya. Istilah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1.
القرأة : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang imam qira’at tertentu seperti qira’at Nabi umpamanya.
2.
الرواية : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qira’at dari imamnya.
3.
الطريق : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang pembaca al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu.

2.2.        Latar belakang timbulnya qira’at

            Qira’at sebenarnya telah muncul semenjak Nabi SAW masih ada walaupun tentu saja pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi diatas :

Pertama : Suatu ketika ’Umar bin Al-Khaththab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat al-Qur’an. ’Umar tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-Furqan. Menurut ’Umar, bacaan Hisyam tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya juga berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa diatas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda :”Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan, Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu.

Kedua : Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita : ”Saya masuk kemasjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan membaca surat an-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya. Setelah selesai, saya bertanya, ”Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?”Ia menjawab, ”Rasulullah SAW”. Kemudian, datanglah seseorang yang mengerjakan shalat dengan membaca permulaan surat an-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya dan bacaan teman tadi. Setelah shalatnya selesai, saya bertanya,” Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu ? ”Ia menjawab, ”Rasulullah SAW”. Kedua orang itu lalu saya ajak menghadap Nabi. Setelah saya sampaikan masalah ini kepada Nabi, beliau meminta salah satu dari kedua orang itu membacakannya lagi surat itu. Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda, Baik. Kemudian, Nabi meminta kepada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnay baik.

Selanjutnya periodesasi qurra’ adalah sejak zaman sahabat sampai dengan masa tabi’in. Orang-orang yang menguasai Al-Qur’an ialah yang menerimanya dari orang-orang yang dipercaya dan dari imam ke imam yang akhirnya berasal dari Nabi. Sedangkan mushaf-mushaf tersebut tidaklah bertitik dan berbaris, dan bentuk kalimat didalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai bacaan. Kalau tidak, maka kalimat itu harus ditulis pada mushaf dengan satu wajah yang lain dan begitulah seterusnya. Tidaklah diragukan lagi bahwa penguasaan tentang riwayat dan penerimaan merupakan pedoman dasar dalam bab qira’ah dan al-Qur’an.

Kalangan sahabat sendiri dalam pengambilannya dari Rasul menggunakan sara berbeda-beda. Ada yang membaca dengan sat u huruf. Bahkan, ada yang lebih dari itu. Kemudian mereka tersebar keseluruh penjuru daerah.

Kebijakan Abu Bakar Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain selain yang telah disusun Zaib bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki Ibn Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Miqdad bin amar, Ubay bin Ka’ab, dan Ali bin Abi Thalib, mempunyai andil besar dalam kemunculan qiraat yang kian beragam. Perlu dicatat bahwa mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusun Zaid bin Tsabit dan kawan-kawannya, kecualai pada dua hal saja, yaitu kronologi surat dan sebagian bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahjah tersendiri karena mushaf-mushaf itu merupakan catatan pribadi mereka masing-masing.

Adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ ke berbagai penjuru, pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya qiraat yang semakin beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan Aarabin sehingga pada akhirnya perbedaan qiraat itu sudah pada kondisi sebagaimana yang disaksikan Hudzaifah Al-Yamamah dan yang kemudian dilaporkannya kepada ’Utsman.

            Ketika mengirim mushaf-mushaf  keseluruh penjuru kota, khalifah Utsman r.a. mengirimkan pula para sahabat yang memiliki cara membaca tersendiri dengan masing-masing mushaf yang diturunkan. Setelah para sahabat berpencar keseluruh daerah dengan bacaan yang berbeda itu, para tabi’in mengikuti mereka dalam hal bacaan yang dibawa oleh para sahabat tersebut. Dengan demikian, beraneka-ragamlah pengambilan para tabi’in, sehingga masalah ini menimbulkan imam-imam Qari’ yang masyhur yang berkecimpung didalamnya, dan mencurahkan segalanya untuk qiraat dengan memberi tanda-tanda serta menyebarluaskannya.

Tatkala para qori pada masa tabi’iin yaitu pada awal abad II H tersebar ke berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qiraat imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan turun-temurun dari guru ke guru, sehingga sampai kepada imam-imam qira’at, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.

Imam-Imam qira’at bekerja kerasa sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga  bisa   membedakan  antara bacaan  yang  benar dan  yang salah.

Mereka mengumpulkan qira’at, mengembangkan wajah-wajah dan dirayah.

Sesudah itu para Imam menyusun kitab-kitab mengenai qira’at. Orang pertama kali menyusun qira’at dalam satu kitab adalah Abu Ubaidillah al-Qasim bin Salam. Ia telah mengumpulkan qiraat sebanyak kurang lebih 25 Macam. Kemudian menyusul imam-imam lainnya. Diantara mereka, ada yang menetapkan 20 macam. Ada pula yang menetapkan dibawah bilangan itu. Persolan qiro’at terus berkembang sampai masa Abu Bakar Ahmad bin Abbas bin Mujahid yang terkenal dengan nama ibn Mujahid. Dialah orang yang meringkas menjadi tujuh macam qira’at yang disesuai dengan tujuh imam qori’. Berkat jasanya dapat diketahui mana qira’at yang dapat diterima dan mana yang ditolak.

2.3.        Pengertian qira’at

                       Ketahuilah  bahwa al-Qadhi Jalaluddin  mengatakan, “Qira’ah terbagi menjadi qira’ah yang mutawatir, ahad, dan syadz. Termasuk qira’ah mutawatir adalah qira’ah sab’ah yang masyhur, yang ahad adalah qira’at tiga yang merupakan pelengkap hingga menjadi sepuluh dan termasuk kedalam bagian ini qira’ah-qira’ah para sahabat, yang syadz adalah qira’ah para tabiin seperti, A’masy, Yahya bin Witsab, ibn Jubair dan lain-lainnya.

Orang terbaik yang pernah membicarakan permasalahan ini adalah seorang imam para qurra’ dimasanya, seorang guru dari semua guru kami, yaitu Abul Khair bin Al-Jazairi. Dia mengatakan dalam permulaan kitabnya, an-Nasyar, ”semua qira’ah yang bersesuaian dengan bahasa arab, walaupun dari satu segi, bersesuaian dengan Mushaf-Mushaf Ustmani walaupun dengan suatu penafsiran, dan shahih sanadnya maka itu adalah qira’ah yang benar yang tidak boleh ditolak dan diingkari bahkan itu termasuk bagian dari huruf-huruf yang tujuh yang dengannya Al-Qur’an diturunkan.

Hal itu ditegaskan oleh Ad-Dani, makiy, Al-mahdawi, Abu Syamah. Ini adalah mazhab ulama salaf yang tidak diketahui adanya seorang pun diantara mereka yang menentang.

Kemudian Ibnul Jazari berkata. “perkataan kami pada defiisi : “wala upun dari satu segi”, maksudnya adalah salah satu pendapat dalam nahwu, baik yang paling fasih maupun yang fasih, yang disepakati maupun yang diperselisihkan dengan suatu perselisihan yang tidak terlalu besar, jika qira’ah itu diantara qira’ah-qira’ah yang terkenal dan diterima oleh para imam dengan sanad yang shahih. Banyak qira’ah yang diingkari oleh beberapa ulama nahwu atau kebanyakan mereka tetapi pengingkaran mereka tidak di anggap seperti sukun  pada : بارئكم (QS.Al-Baqarah : 54) dan ياء مركم (QS. Al-Baqarah : 67), bacaan jar pada :وا لارحام  (QS. An-Nisa’: 1), nashab pada ما  ليجزى قو, pemisah antara mudhaf dan mudhaf ilaihi pada   قتل اولاد هوم شركاهوم , dan lain-lain.

Ibnul Jazari berkata, “yang kami maksud dengan persesuaian dengan salah satu mushaf adalah jika bacaan itu shahih pada satu mushaf dan tidak terdapat pada mushaf yang lain. Seperti bacaan Ibnu Amir : قالوا اتخذ الله  dalam surat al-Baqarah : 116 tanpa wawu, dan با لزبر وبالكتاب  (QS.Ali-Imran: 184) dengan huruf ba’ pada keduanya, karena qira’ah itu shahih pada Mushaf syam. Juga seperti bacaan Ibnu Katsir تجري من تحتها الانهار (QS. at-Taubah: 100) pada akhir surat Bara’ah dengan tambahan huruf من karena qira’ah itu shahih pada mushaf Makkah, dan lain-lain. Jika qira’ah itu tidak terdapat pada salah satu Mushaf Utsmani maka itu adalah syadz, karena berbeda dari tulisan yang telah disepakati (ijmak).

Menurut pendapat saya, Ibnul Jazari telah menjelaskan hal ini dengan sangat baik. Menjadi jelas bagi saya bahwa qira’ah itu bermacam-macam.

Pertama, qira’ah yang mutawatir, yaitu yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin mereka sepakat untuk berbohong dari orang-orang yang keadaanya seperti mereka ini sampai terakhir. Seperti inilah kebanyakan qira’ah itu.

Kedua, qira’ah yang masyhur, yaitu yang shahih sanadnya tetapintidak sampai kepada derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan penulisan serta masyhur dikalangan para qurra’. Mereka tidak menganggapnya sebagai kesalahan atau sebagai yang syadz. Qira’ah sepeti inilah yang dikatakan oleh Ibnul Jazari dan seperti yang dipahami dari perkataan Abu Syamah yang telah lalu, boleh digunakan untuk membaca Al-Qur’an. Sebagai contoh adalah berbagai perbedaan riwayat dari para imam yang tujuh. Sebagian perawi menyebutkan suatu riwayat yang tidak disebutkan oleh yang lainnya. Contoh-contoh hal ini banyak, seperti bagian yang pertama dalam kitab-kitab qira’ah. Diantara kitab yang masyhur tentang hal ini adalah at-Taisir karya Ad-Dani, qshidah yang ditulis oleh Asy-Syaithibi, dan Au’iyatun Nasyir fil Qira’atil ‘Asyr serta Taqribun nasyir yang keduanya adalah karya Ibnul Jazari.

Ketiga, qir’ah yang ahad, yaitu yang shahih sanadnya dan berbeda dengan kaidah bahasa dan penulisan, tidak masyhur seperti bagian yang kedua, dan tidak dijadikan sebagai pedoman untuk membaca Al-Qur’an. Tirmidzi dan jami’-nya dan hakim dalam mustadrak-nya telah satu bab, yang mereka berdua banyak meriwayatkan hadist yang shahih sanadnya. Cotohnya adalah yang diriwayatkan ole Hakim dari jalur Ashim al-Juhdari dari Abu Bukrah dari Rasulullah saw. Bahwa dia membaca :

 

متكئين على رفرف خضر وعبقري حسا ن 

“ Mereka bertelekan diatas bantal-bantal yang hijau dan permadani yang indah-indah.”

Dia meriwayatkan dari hadits Rasulullah saw. Membaca :

فلا تعلم نفس ما اخفي لهم من قرة اعين

“ seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu, bermacam-macam nikmat yang menyedapkan pandangan.”(QS. as-Sajadah: 17)

.

Dia meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. Membaca :

لقد جاءكم رسول من انفسكم

“telah datang kepada kalian seorang rasul dari yang paling terhormat diantara kalian.” (QS. at-Taubah: 128) dengan bacaan fathah dan fa’.

Dia meriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. Membaca :

فروح وريحان

“Maka dia memperoleh ketentraman dan rezeki” (QS.al-Waqiah: 89) dengan bacaan dhammah pada ra “yang pertama.

Keempat, qira’ah yang syadz, yang tidak shahih sanadnya. Banyak kitab yang disusun mengenai hal ini. Contohnya adalah : ملك يوم الد ين dengan fi’il madhi, dan bacan nasab pada يوم serta ك يعبدايا dengan fi’il mabni lil majhul.

Kelima,qira’ah yang maudhu’(palsu), seperti qira’ah-qira’ah al-Khuza’i.

Umar berkata,”aku tidak mengehui apakah itu merupakan qira’ahnya ataukah merupakan tafsirnya”(diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur). Al-Anbari meriwayatkan darinya dan dia mengaskan bahwa itu adalah tafir darinya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

 

3.1.        Kesimpulan

 

Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwasannya:

1.        Qira’at Al-Qur’an adalah ilmu yang mempelajari cara mengucapkan lafadz-lafadz al-Qur’an.

2.        Qira’at ini muncul pada masa nabi Muhammad SAW sampai sekarang.

3.        Orang yang pertama kali menyusun qira’at dalam satu buku adalah Abu Ubaidillah Al-Qasim bin Salam kemudian imam-imam lainnya mulai menyusun qira’at.

4.        Dari segi kuantitasnya qira’at terbagi menjadi tiga yaitu Qira’ah Sab’ah (Qira’at Tujuh), Qira’at ‘Asyarah (Qira’at Sepuluh), dan Qira’at ‘Arba’at Asyarah (Qira’at Empat Belas). Dan dari segi kualitasnya Qira’at terbagi menjadi enam macam yaitu Qira’ah Mutawatir, Qira’ah Masyhur, Qira’ah Ahad, Qira’ah Syadz (menyimpang), Qira’ah Maudhu (palsu) dan Qira’at Mudraj.

5.        Yang dimaksud dengan al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf adalah memberi kelonggaran kepada umat manusia dalam membaca al-Qur’an sesuai dengan bacaan yang mudah bagi mereka. Namun, bacaan ayat-ayat al-Qur’an tidak boleh dibaca sesuka hati si pembacanya karena sudah ada aturan yang sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah.

6.        Di dalam  penetapan hukum, qira’at dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama.

3.1.        Saran

   Dengan sangat menyadari bahwa makalah kami  masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami menyarankan kepada pembaca  untuk memberikan sumbang saran serta kritikan dalam memperbaiki makalah kami untuk yang akan datang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

v Ridwan202.2010. QIRA’AT AL-QUR’AN,(online) (  https://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/qiraatul-quran/   ,diakses 17 september 2016)

 

v Moh.Badrus Sholeh.2011. Latar Belakang Timbulnya perbedaan Qira’at , (online)(http://badrussholehjember.blogspot.co.id/2011/08/latar-belakang-timbulnya-perbedaan.html  ,diakses 17 September 2016 )

 

v Ali tahufan DS.2015. Ilmu Qira’at (Macam Qira’at, Syarat Diterimanya dan Seputar Qira’at Sab’ah, Asyrah dan Arba Asyar), (online) ( http://alitopands.blogspot.co.id/2015/02/ilmu-qiraat-macam-qiraat-syarat.html diakses 17 September 2016 )

 

v Suyuti, Imam, 2008, studi al-Qur’an komprehensif, Surakarta : indiva pustaka.

No comments:

Post a Comment

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

  KATA PENGANTAR Segala puji syukur kita kehadirat Allah SWT. Karena atas limpahan karunianya, Rahmat, dan Hidayahnya yang berupa kesehata...