Tuesday, January 3, 2017

Ahliyyatul Ada Wa Ahliyyatul Wujub

BAB I
PENDAHULUAN
A).Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah. Dia-lah sang pembuat hukum yang diperintahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan hukum taklifi (seperti : wajib, sunnah, haram, makruh, mubah, maupun yang terkait) dengan hukum wad’i (seperti : sebab, syarat, halangan, sah, batal, fazid, azimah dan rukhsoh).
Dalam membicarakan subjek hukum telah dijelaskan bahwa diantara syarat subjek hukum adalah kecakapan hukum untuk memikul beban hukum yaitu kemampuan dikenai hukum dan kemampuan berbuat hukum. Hal ini berarti bahwa semua manusia cakap dikenai hukum. Oleh karena itu tidak satu pun yang dapat mempengaruhi kecakapannya untuk dikenai hukum.
Kecakapan untuk berbuat hukum tidak berlaku untuk semua manusia. Kecakapan ini dibatasi oleh syarat-syarat tertentu, dalam hal ini baligh dan berakal. Bila seseorang sudah mencapai umur dewasa yang menurut biasanya diiringi dengan kemampuan akal, maka dinyatakan cakap untuk melaksanakan hukum (mukallaf).
Dalam perjalanan hidupnya sebagai seorang manusia yang telah memenuhi syarat untuk menerima beban taklif, kadang-kadang terjadi pada dirinya sesuatu yang menyebabkannya dalam keadaan tertentu untuk tidak dapat melaksanakan beban hukum, baik tersebab oleh sesuatu yang timbul dari dirinya sendiri, maupun dari luar dirinya. Sesuatu yang berpengaruh terhadap kecakapanya untuk berbuat itu disebut `Awaridh Al-Ahliyah (halangan taklif).
B). Rumusan Masalah
Sesuai yang telah dijelaskan dalam latar belakang, pembuatan makalah ini mengacu pada rumusan  berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Al Ahliyyah ?
2.Apa Macam-macam Al Ahliyyah dan pendukung-pendukungnya ?
3.Apa saja halangan dari Al Ahliyyah ?

C).Kegunaan makalah ini
1.Mengetahui apa pengertian Al ahliyyah
2.Mengetahui apa saja pembahagiaannya Al ahliyyah
3.Mengetahui yg menghalang Al ahliyyah
BAB II

PEMBAHASAN
AL AHLIYYAH
A.Pengertian Al Ahliyyah

             Di kalangan para ‘Ulama perkataan “Al Ahliyyah” menpunyai pengertian sendiri , namun tidak menyimpang dari pengertian menurut bahasa . telah banyak rumusan pengertian ahliyyah yang di kemukakan para ulama , Namun isinya antara yang satu dengan yang lain tidaklah beda. Di antaranya rumusan pengertian Ahliyyah yang di kemukakan oleh Musthafa ahmad Az-zarqa dalam kitabnya  “Al Fiqhul islamiy fii tsaubihil jadid”  yakni :
“suatu sifat yang di tetapkan oleh Syara’ pada diri seseorang yang menjadikan dia orang itu yang pantas bagi berlakunya khitbah (Hukum-hukum Syara)
Sedangkan menurut Ustadz Aliy Hasballah dalam kitabnya “Ushulut tasyiri’il Islam”adalah “kelayakan seseorang untuk mendukung Hak hak yang di tetapkan oleh Syara’baginya atau untuk mendukung hak hak yg di bebankan kepadanya dan untuk melakukan perbuatan-perbuatan dengan di pandang Syara menurut Syara.
            Yang di maksud dengan mendukung hak hak yang di bebankan kepadanya ialah menunaikan kewajiban untuk dapat memenuhi hak hakorang lain yang di bebankan kepadanya .hal ini adalah sesuai dengan pengertian Al Ahliyyah yang di kutip oleh Muhammad musthafa Syalabiy dalam kitabnya” Al Madkhal ”
“suatu sifat yang di tetapkan oleh Syara pada diri seseorang yang menjadikan ia pantas untuk di tetapkan hak hak baginya dan untuk di tetapkan kewajiban-kewajiban kepadanya serta untuk di pandang sah perbuatan-perbuatannya.
Jadi al Ahliyyah adalah kelayakan atau kecakapan atau kemampuan seseorang untuk memiliki hak hak yang di tetapkan baginya atau untuk menunaikan kewajiban agar terpenuhi hak hak orang lain yang di bebankan kepadanya atau untuk di pandang sah oleh Syara’ perbuatan perbuatannya.


B.Pembagian Ahliyyah dan pendukung-pendukungnya
            Sesuai dengan pengertian Ahliyyah di atas, para Ulama membagi Ahliyyah menjadi dua macam. Dan macam macam Ahliyyah itu tidak sekaligus sejak semua terdapat pada diri seseorang, melainkan adanya secara bertahap sesuai dengan perkembangan jasmani dan akalnya sebagaimana yang di lalui dalam periodesasi hidupnya. Jadi manusia dalam perjalanan hidupnya dari periode-keperioede, semakin sempurna dalam memiliki atau mendukung macam Ahliyyah.
            Adapun macam-macam ahliyyah sebagai berikut :
1)      Ahliyyatul wujub atau kecakapan berhak, yaitu kecakapan seorang untuk mendukung hak-hak yang di peruntukkan bagi dirinya dan untuk mendukung hak hak yang di bebankan kepadanya yakni untuk menunaikan kewajiban terpenuhi hak hak orang lain atas dirinya.
      Ahliyyatul wujub terbagi 2 macam , yakni :
a).        Ahliyyatul wujubin Naaqishah atau kecakapan berhak secara tak sempurna, yaitu kecakapan seseorang hanya untuk mendukung hak hak yang di peruntukkan bagi dirinya seperti hak untuk mendapatkan harta warisan dari orang yang mewariskan harta kepadanya, hak untuk memiliki harta yang di wasiyatkan kepadanya, hak untuk menikmati hasil harta yang di waqafkan kepadanya, hak untuk mendapatkan ganti rugi jika hartanya di rusak atau di hilangkan orang lain, hak penyerahan harta kepada dirinya jika ia membeli suatu barang, hak untuk mendapatkan nafkah seorang istri kepada suaminya dan lain sebagainya.
b).        Ahliyyatul Wujubil kamilah atau kecakapan berhak secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang di samping untuk mendukung hak-hak yang di peruntukkan bagi dirinya, juga kecakapa untuk mendukung hak-hak yang di bebankan kepadanya yakni untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agar terpenuhi hak-hak orang lain atas dirinya. Kecakapan yang di sebut belakangan ini seperti kewajiban membayar harga barang yang telah diberinya, kewajiban member nafkah kepada isterinya dan anaknya.
Dasar bagi adanya Ahliyyatul wujub pada diri seseorang adalah pada sifat kemanusiaannya.  Maka adanya Ahliyyatul wujuub pada diri seseorang yaitu semenjak di tiupkan roh kedalam diri seseorang, yakni pada saat berbentuk alaqah dalam kandungan ibunya.
2)      Ahliyyatul Ada’ atau kecakapan bertindak, adalah kecakapan seseorang untuk melakukan perbuatan yang di pandang sah’ menurut Syara’dan konsekuensi Hukum. Sebagai contoh apabila dia melakukan transaksi bisinis, tindakannya itu di pandang syah dan ada konsekuensi hukumnya. Bila ia melakukan shalat, puasa, atau melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya, perbuatannya di anggap sah oleh Syara’, bila cukup rukun dan syaratnya dan menggugurkan kewajiban mukallaf tersebut. Begitu juga apabila ia melakukan pelanggaran terhadap orang lain, ia akan di kenai sangsi hokum pidana, baik pidana badan atau harta. Pokoknya ahliyyatul Ada’ ini soal pertanggung jawaban yang di dasarkan akal atau kecakapan pribadi.
Sesuai perkembangan kemampuan akal , maka Ahliyyatul Adaa’ dibagi menjadi 2 macam, yaitu
a).        Ahliyyatul Adaa’in naqishah atau kecakapan bertindak secara tak sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk melakukan perbuatan tertentu saja. dengan demikian,maka orang yang memiliki Ahliyyatul ada’in naaqishah, tidak semuanya di pandang sah’ oleh Syara’.
Kecakapan seperti ini, dimiliki oleh seseorang yang lagi kemampuan akalnya belum sempurna, yaitu selagi seseorang lagi dalam periode Tamyiz.
Perbuatan seorang mumayyiz , ada yang sah’ dan ada pula yang sah’ apabila telah di izini dari wali atau waashinya.
Dalam aqidah, perbuatan orang mumayyiz telah di pandang sah, seperti apabila semula ia kafir lalu kemudian ia beriman. Dengan sah imannya itu , berlaku pula hukum-hukum yang berkaitan dengan keimanannya, seperti saling waris mewarisi dengan ahli waris yang sesame imannya (muslim) dan terhalang dari waris mewarisi yang kafir.
Sedangkan, dalam ibadah, perbuatan orang mumayyiz telah di pandang sah’ , apabila ia dalam melakukannya itu telah memenuhi rukun dan syarat yang di tentukan. Ia telah sah melakukan shalat, puasa, haji, dan ibadah lainnya.akan tetapi perbuatan tersebut belum di wajibkan kepadanya, karena itu apabila ia meniggalkan ibadahnya itu, ia tidak berdosa, dan apabila dia tidak memenuhi rukun atau syarat, ia tidak di tuntut dengan mengulanginya.
b).        Ahliyyatul ada’il kamilah atau kecakapan bertindak secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk melakukan berbagai macam perbuatan. Dengan demikian, orang yang telah memiliki kecakapan bertindak secara sempurna, semua perbuatann telah di pandang sah’ oleh Syara’.
Adapun orang yang memiliki kecakapan bertindak secara sempurna inilah orang yang telah memiliki akal yang sempurna, yaitu mereka yang telah baligh.
Khusus kecakapan bertindak secara sempurna yang menyangkut dengan harta kekayaan, maka di samping seseorang itu telah baligh, ia harus telah memiliki sifat rasyid. Jika seseorang yang telah baligh dan belum atau tidak mempunyai sifat rasyid, maka ia di taruh dibawah pengampunan, sebagaimana orang yang kurang sempurna kemampuan akalnya di taruh dibawah perwalian. Dengan demikian, kecakapan yang bertindak menyangkut harta kekayaannya menjadi berkurang, sama kedudukannya dengan orang yang mumayyiz.
Demikian pula apabila ia mempunyai sifat rasyid tetapi ia belum baligh, maka kecakapan
bertindaknya masih sebagai kecakapan bertindak orang kurang sempurna kemampuan akalnya.
Jadi dasar adanya Ahliyyatul Ada’ ialah kemampuan akal seseorang. Jadi seseorang yang tidak mempunyai akal seperti orang yang belum mumayyiz  dan seperti orang gila yang  tidak mempunyai Ahliyyatul Ada’.



C.Penghalang-penghalang kecakapan Al Ahliyyah (awaridlul)
            Yang di maksud dengan ‘Awaaridlul ahliyyah ialah hal-hal yang terdapat atau terjadi pada diri seseorang, sehingga menghalangi kecakapannya.
            Dalam Ahliyyatul wujuub, yang menjadi dasar adalah sifat kemanusiaannya. Jika sifat kemanusiaannya sudah tidak ada (meniggal dunia), maka baru ahliyyatul wujub itu hilang dari diri seseorang. Jadi Ahliyyatul wujub ini tetap ada pada diri seseorang selagi ia masih bernyawa bahkan mulai manusia masih dalam kandungan dan tidak di pengaruhi oleh keadaan yang terdapat pada diri seseorang, apakah orang itu dalam keadaan sehat atau sakit, apakah ia dalam keadaan sadar atau dalam keadaan mabuk, apakah ia sudah baligh atau masih dalam keadaan belum  baligh, apakah ia dalam keadaan tidur atau bangun, atau bepergian atau mukim, atau keadaan-keadaan lain yang terjadi pada diri seseorang.
            Singkatnya dalam ahliyyatul wujub itu tidak ada awaaridlul ahliyyah. Lain halnya dengan ahliyyatul ada’ yang dasarnya adalah kemampuan akal, maka terkadang terhalang oleh hal- hal yang terdapat atau terjadi pada diri seseorang yang memiliki ahliyyatul itu. Halangan-halangan inilah yang menghilangkan atau menggugurkan sama sekali dan ada hanya menggugurkan atau menghilangkan perbuatan tertentu saja. Dan sebab adanya halangan tersebut ada dua macam yaitu :
1.      Halangan yang adanya bukan merupakan usaha manusia dan manusia tidak mempu menolaknya.
Halangan ini di sebut dengan “awaaridlulsamawiyyah”
2.      Halangan yang adanya diusahakan oleh manusia. Halangan ini di sebutkan dengan “awaaridlulmuktasabah”
Dibawah  ini akan dikemukakan satu persatu halangan menurut kategori sebab adanya :
1).        Awaaridlul saamawiyyah
            Yang termasuk ‘awaaridlul saamawiyah’ ini yaitu : Gila, rusak akal, tidur, pingsan, lupa, sakit, haid, dan  nifas serta meniggal dunia.



a.       gila
Gila mulai lahir atau dating kemudian telah menghilangkan kemampuan akalnya untuk dapat membedakan mana yang baik dan buruk dan antara yang  baik atau memudorotkan
Keadaan seperti ini tidak menghilangkan ahliyyatul ada. Sebab ahliyyatul ada harus di dasari kemampuan akalnya.
b.      rusak akal
orang yang rusak akal di sebut dengan ma’tuh. Ucapan atau perbuatan orang ma’tuh tidak menentu, terkadang seperti ucapan atau perbuatan orang sehat dan terkadang seperti orang gila.
c.       tidur
orang yang dalam keadaan tidur masih memilki kemampuan akal secara sempurna.. hanya saja orang yang tidur itu tidak mungkin bisa menggunakan akalnya. Oleh karena itu, dia tidak bisa di hadapakan dengan dalil-dalil hukum.
d.      Pingsan
Keadaan pingsan membuat seseorang hilang kesadaran. Dengan hilangnya itu, seseorang juga tidak bisa di hadapkan dengan dalil-dalil hukum. Oleh karena itu orang pingsan tak ubah dengan orang tidur. Jadi ahliyyatul ada’ itu terhalang sampai ia siuman.
e.       Lupa
lupa tidak menyebabkan gugurnya ahliyyatul ada’ dan orang yang memilikinya. Sebab orang yang lupa itu masih memiliki kesempurnaan akal. Dia masih wajib menunaikan kewajiban hak-hak Allah dan Hak-hak orang yang lupa itu.
f.       Sakit
sakit juga tidak menghilangkan gugurnya ahliyyatul ada’ . oleh karena itu orang yang sakit masih tetap di tuntut untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang diwajibkan kepadanya, dan perkataannya atau ucapannya itu adalah sah.
g.      Haid dan nifas
Haid dan nifas juga tidak menggurkan ahliyyatul ada’ hanya saja syara’ menjadikan suci dari keduanya sebagai syarat sah dalam melakukan sholat dan puasa. Oleh karena itu tidak wajib melakukan kewajiban itu apabila dalam keadaan haid dan nifas.



h.      Meninggal dunia
Kematian seseorang menjadikan gugur semua ahliyyatul ada .hanya saja hak hak orang yang terdapat padanya misalnya seperti materi benda tetap ada pada dirinya.
2).        Awaaridlul Muktasabah
            Yang termasuk “awaaridlulmuktasabah” yaitu : safah (serampangan), mabuk, bepergian, kekeliruan ( tidak sengaja ), bermain-main ( berpura-pura ) hutang, dan paksaan.
a.       Safah
Menurut pengertian para Fuqaha safah adalah ketidakpandaian seseorang dalam mentasharufkan (membelanjakan)hartanya secara tepat sesuai dengan pertimbangan akal yang sehat dan ketentuan-ketentuan Syara’.(boros)
Orang safih hakekatnya mempunyai kemampuan akal sempurna, hanya saja dia tidak dapat menggunakan akalnya dengan baik.
b.      Mabuk
Orang yang dalam keadaan mabuk, hilang kesadarannya sehingga dia tidak dapat menggunakan akalnya . oleh karena itu pada saat mabuk dia tidak bisa memahami  dalil-dalil hukum yang di hadapkan kepadanya.
c.       Berpergian
Berpergian tidak menggugurkan Ahliyyatul ada’. Semua perbuatan orang yang berpergian maka “Sah” sebagaimana apabila dia dalam keadaan mukim ( tidak berpergian )
Akan tetapi Syara memberikan keringanan-keringanan kewajiban bagi orang yang berpergian .
-Menjamak sholat
-Mengqoshor sholat.





BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Ahliyyah adalah sifat yang  menunjukan  bahwa seseorang yang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya  dapat dinilai oleh syara. Orang yang telah memiliki sifat tersebut dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum.
Para usuliyyin membagi ahliyyah al wujub ada 2 bagian :
1.       Ahliyyah al wujub an-naqishoh.
Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya(janin). Janin inilah sudah dianggap mempunyai ahliyyah wujub akan tetapi belum sempurna.
2.       Ahliyyah al wujub al kamilah
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seseorang anak yang telah lahir ke dunia sampai dinyatakan baligh dan berakal,sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila.
Penyebab penghalang ahliyah (‘awarid al ahliyyah) ada dua, yaitu :
1.       Awaridh samawiyyah, yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti: gila, dungu, perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian mati dan lupa.
2.       Al awaridh al muktasabah, yaitu halangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, bersalah, dibawah pengampunan dan bodoh.







DAFTAR PUSTAKA

v Khoirun nisak, 8-Mei-2014, Al ahliyyah (http://kumpulanmakalah-nisa.blogspot.co.id/2014/05/al-ahliyah.html) , akses tgl 21-sep-2016

v Ilmu fiqih jilid II, Proyek Pembinaan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN di Jakarta, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan islam Departemen Agama 1984/1985

v Prof.Dr.Alaiddin Koto, M.A., 2012, Filsafat Hukum Islam, cetakan ke-1 okt 2012,Jakarta: Fajar Interpratama Offset




No comments:

Post a Comment

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

  KATA PENGANTAR Segala puji syukur kita kehadirat Allah SWT. Karena atas limpahan karunianya, Rahmat, dan Hidayahnya yang berupa kesehata...