BAB I
PENDAHULUAN
A).Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup
seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah. Dia-lah sang pembuat hukum
yang diperintahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan hukum
taklifi (seperti : wajib, sunnah, haram, makruh, mubah, maupun yang terkait)
dengan hukum wad’i (seperti : sebab, syarat, halangan, sah, batal, fazid,
azimah dan rukhsoh).
Dalam
membicarakan subjek hukum telah dijelaskan bahwa diantara syarat subjek hukum
adalah kecakapan hukum untuk memikul beban hukum yaitu kemampuan dikenai hukum
dan kemampuan berbuat hukum. Hal ini berarti bahwa semua manusia cakap dikenai
hukum. Oleh karena itu tidak satu pun yang dapat mempengaruhi kecakapannya
untuk dikenai hukum.
Kecakapan untuk berbuat hukum tidak berlaku untuk semua manusia. Kecakapan
ini dibatasi oleh syarat-syarat tertentu, dalam hal ini baligh dan berakal.
Bila seseorang sudah mencapai umur dewasa yang menurut biasanya diiringi dengan
kemampuan akal, maka dinyatakan cakap untuk melaksanakan hukum (mukallaf).
Dalam
perjalanan hidupnya sebagai seorang manusia yang telah memenuhi syarat untuk menerima beban taklif, kadang-kadang
terjadi pada dirinya sesuatu yang menyebabkannya dalam keadaan tertentu untuk
tidak dapat melaksanakan beban hukum, baik tersebab oleh sesuatu yang timbul
dari dirinya sendiri, maupun dari luar dirinya. Sesuatu yang berpengaruh terhadap kecakapanya untuk berbuat itu disebut `Awaridh
Al-Ahliyah (halangan taklif).
B). Rumusan Masalah
Sesuai
yang telah dijelaskan dalam latar belakang, pembuatan makalah ini mengacu pada
rumusan berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Al Ahliyyah ?
2.Apa
Macam-macam Al Ahliyyah dan
pendukung-pendukungnya ?
3.Apa saja halangan
dari Al Ahliyyah ?
C).Kegunaan makalah ini
1.Mengetahui apa
pengertian Al ahliyyah
2.Mengetahui apa saja
pembahagiaannya Al ahliyyah
3.Mengetahui yg
menghalang Al ahliyyah
BAB II
PEMBAHASAN
AL AHLIYYAH
A.Pengertian Al Ahliyyah
Di kalangan para ‘Ulama perkataan “Al Ahliyyah”
menpunyai pengertian sendiri , namun tidak menyimpang dari pengertian menurut
bahasa . telah banyak rumusan pengertian ahliyyah yang di kemukakan para ulama
, Namun isinya antara yang satu dengan yang lain tidaklah beda. Di antaranya
rumusan pengertian Ahliyyah yang di kemukakan oleh Musthafa ahmad Az-zarqa
dalam kitabnya “Al Fiqhul islamiy fii
tsaubihil jadid” yakni :
“suatu sifat yang di tetapkan oleh Syara’
pada diri seseorang yang menjadikan dia orang itu yang pantas bagi berlakunya
khitbah (Hukum-hukum Syara)
Sedangkan menurut Ustadz Aliy Hasballah
dalam kitabnya “Ushulut tasyiri’il Islam”adalah “kelayakan seseorang
untuk mendukung Hak hak yang di tetapkan oleh Syara’baginya atau untuk
mendukung hak hak yg di bebankan kepadanya dan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan dengan di pandang Syara menurut Syara.
Yang
di maksud dengan mendukung hak hak yang di bebankan kepadanya ialah menunaikan
kewajiban untuk dapat memenuhi hak hakorang lain yang di bebankan kepadanya
.hal ini adalah sesuai dengan pengertian Al Ahliyyah yang di kutip oleh
Muhammad musthafa Syalabiy dalam kitabnya” Al Madkhal ”
“suatu sifat yang di tetapkan oleh Syara
pada diri seseorang yang menjadikan ia pantas untuk di tetapkan hak hak baginya
dan untuk di tetapkan kewajiban-kewajiban kepadanya serta untuk di pandang sah
perbuatan-perbuatannya.
Jadi al
Ahliyyah adalah kelayakan atau kecakapan atau kemampuan seseorang untuk
memiliki hak hak yang di tetapkan baginya atau untuk menunaikan kewajiban agar
terpenuhi hak hak orang lain yang di bebankan kepadanya atau untuk di pandang
sah oleh Syara’ perbuatan perbuatannya.
B.Pembagian Ahliyyah dan
pendukung-pendukungnya
Sesuai
dengan pengertian Ahliyyah di atas, para Ulama membagi Ahliyyah menjadi dua
macam. Dan macam macam Ahliyyah itu tidak sekaligus sejak semua terdapat pada
diri seseorang, melainkan adanya secara bertahap sesuai dengan perkembangan
jasmani dan akalnya sebagaimana yang di lalui dalam periodesasi hidupnya. Jadi
manusia dalam perjalanan hidupnya dari periode-keperioede, semakin sempurna
dalam memiliki atau mendukung macam Ahliyyah.
Adapun
macam-macam ahliyyah sebagai berikut :
1) Ahliyyatul wujub atau kecakapan berhak, yaitu kecakapan
seorang untuk mendukung hak-hak yang di peruntukkan bagi dirinya dan untuk
mendukung hak hak yang di bebankan kepadanya yakni untuk menunaikan kewajiban
terpenuhi hak hak orang lain atas dirinya.
Ahliyyatul wujub terbagi 2 macam , yakni :
a). Ahliyyatul wujubin Naaqishah atau
kecakapan berhak secara tak sempurna, yaitu kecakapan seseorang hanya untuk
mendukung hak hak yang di peruntukkan bagi dirinya seperti hak untuk
mendapatkan harta warisan dari orang yang mewariskan harta kepadanya, hak untuk
memiliki harta yang di wasiyatkan kepadanya, hak untuk menikmati hasil harta
yang di waqafkan kepadanya, hak untuk mendapatkan ganti rugi jika hartanya di rusak
atau di hilangkan orang lain, hak penyerahan harta kepada dirinya jika ia
membeli suatu barang, hak untuk mendapatkan nafkah seorang istri kepada
suaminya dan lain sebagainya.
b). Ahliyyatul Wujubil kamilah atau
kecakapan berhak secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang di samping untuk
mendukung hak-hak yang di peruntukkan bagi dirinya, juga kecakapa untuk
mendukung hak-hak yang di bebankan kepadanya yakni untuk menunaikan
kewajiban-kewajiban agar terpenuhi hak-hak orang lain atas dirinya. Kecakapan yang
di sebut belakangan ini seperti kewajiban membayar harga barang yang telah
diberinya, kewajiban member nafkah kepada isterinya dan anaknya.
Dasar bagi
adanya Ahliyyatul wujub pada diri seseorang adalah pada sifat
kemanusiaannya. Maka adanya Ahliyyatul
wujuub pada diri seseorang yaitu semenjak di tiupkan roh kedalam diri
seseorang, yakni pada saat berbentuk alaqah dalam kandungan ibunya.
2) Ahliyyatul Ada’ atau kecakapan bertindak, adalah kecakapan
seseorang untuk melakukan perbuatan yang di pandang sah’ menurut Syara’dan
konsekuensi Hukum. Sebagai contoh apabila dia melakukan transaksi bisinis,
tindakannya itu di pandang syah dan ada konsekuensi hukumnya. Bila ia melakukan
shalat, puasa, atau melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya, perbuatannya di
anggap sah oleh Syara’, bila cukup rukun dan syaratnya dan menggugurkan
kewajiban mukallaf tersebut. Begitu juga apabila ia melakukan pelanggaran
terhadap orang lain, ia akan di kenai sangsi hokum pidana, baik pidana badan
atau harta. Pokoknya ahliyyatul Ada’ ini soal pertanggung jawaban yang di
dasarkan akal atau kecakapan pribadi.
Sesuai
perkembangan kemampuan akal , maka Ahliyyatul Adaa’ dibagi menjadi 2 macam,
yaitu
a). Ahliyyatul Adaa’in naqishah atau
kecakapan bertindak secara tak sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk
melakukan perbuatan tertentu saja. dengan demikian,maka orang yang memiliki
Ahliyyatul ada’in naaqishah, tidak semuanya di pandang sah’ oleh Syara’.
Kecakapan
seperti ini, dimiliki oleh seseorang yang lagi kemampuan akalnya belum sempurna,
yaitu selagi seseorang lagi dalam periode Tamyiz.
Perbuatan
seorang mumayyiz , ada yang sah’ dan ada pula yang sah’ apabila telah di izini
dari wali atau waashinya.
Dalam aqidah, perbuatan orang mumayyiz telah di pandang sah, seperti
apabila semula ia kafir lalu kemudian ia beriman. Dengan sah imannya itu ,
berlaku pula hukum-hukum yang berkaitan dengan keimanannya, seperti saling
waris mewarisi dengan ahli waris yang sesame imannya (muslim) dan terhalang
dari waris mewarisi yang kafir.
Sedangkan, dalam ibadah, perbuatan orang mumayyiz telah di pandang sah’ ,
apabila ia dalam melakukannya itu telah memenuhi rukun dan syarat yang di
tentukan. Ia telah sah melakukan shalat, puasa, haji, dan ibadah lainnya.akan
tetapi perbuatan tersebut belum di wajibkan kepadanya, karena itu apabila ia
meniggalkan ibadahnya itu, ia tidak berdosa, dan apabila dia tidak memenuhi
rukun atau syarat, ia tidak di tuntut dengan mengulanginya.
b). Ahliyyatul ada’il kamilah atau kecakapan
bertindak secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk melakukan berbagai
macam perbuatan. Dengan demikian, orang yang telah memiliki kecakapan bertindak
secara sempurna, semua perbuatann telah di pandang sah’ oleh Syara’.
Adapun orang
yang memiliki kecakapan bertindak secara sempurna inilah orang yang telah
memiliki akal yang sempurna, yaitu mereka yang telah baligh.
Khusus
kecakapan bertindak secara sempurna yang menyangkut dengan harta kekayaan, maka
di samping seseorang itu telah baligh, ia harus telah memiliki sifat rasyid.
Jika seseorang yang telah baligh dan belum atau tidak mempunyai sifat rasyid,
maka ia di taruh dibawah pengampunan, sebagaimana orang yang kurang sempurna
kemampuan akalnya di taruh dibawah perwalian. Dengan demikian, kecakapan yang
bertindak menyangkut harta kekayaannya menjadi berkurang, sama kedudukannya
dengan orang yang mumayyiz.
Demikian
pula apabila ia mempunyai sifat rasyid tetapi ia belum baligh, maka kecakapan
bertindaknya
masih sebagai kecakapan bertindak orang kurang sempurna kemampuan akalnya.
Jadi dasar adanya Ahliyyatul Ada’ ialah
kemampuan akal seseorang. Jadi seseorang yang tidak mempunyai akal seperti
orang yang belum mumayyiz dan seperti
orang gila yang tidak mempunyai
Ahliyyatul Ada’.
C.Penghalang-penghalang kecakapan Al
Ahliyyah (awaridlul)
Yang
di maksud dengan ‘Awaaridlul ahliyyah ialah hal-hal yang terdapat atau terjadi
pada diri seseorang, sehingga menghalangi kecakapannya.
Dalam
Ahliyyatul wujuub, yang menjadi dasar adalah sifat kemanusiaannya. Jika sifat
kemanusiaannya sudah tidak ada (meniggal dunia), maka baru ahliyyatul wujub itu
hilang dari diri seseorang. Jadi Ahliyyatul wujub ini tetap ada pada diri
seseorang selagi ia masih bernyawa bahkan mulai manusia masih dalam kandungan
dan tidak di pengaruhi oleh keadaan yang terdapat pada diri seseorang, apakah
orang itu dalam keadaan sehat atau sakit, apakah ia dalam keadaan sadar atau
dalam keadaan mabuk, apakah ia sudah baligh atau masih dalam keadaan belum baligh, apakah ia dalam keadaan tidur atau
bangun, atau bepergian atau mukim, atau keadaan-keadaan lain yang terjadi pada
diri seseorang.
Singkatnya
dalam ahliyyatul wujub itu tidak ada awaaridlul ahliyyah. Lain halnya dengan
ahliyyatul ada’ yang dasarnya adalah kemampuan akal, maka terkadang terhalang
oleh hal- hal yang terdapat atau terjadi pada diri seseorang yang memiliki
ahliyyatul itu. Halangan-halangan inilah yang menghilangkan atau menggugurkan
sama sekali dan ada hanya menggugurkan atau menghilangkan perbuatan tertentu
saja. Dan sebab adanya halangan tersebut ada dua macam yaitu :
1. Halangan yang adanya bukan merupakan usaha
manusia dan manusia tidak mempu menolaknya.
Halangan ini di sebut dengan
“awaaridlulsamawiyyah”
2. Halangan yang adanya diusahakan oleh
manusia. Halangan ini di sebutkan dengan “awaaridlulmuktasabah”
Dibawah ini
akan dikemukakan satu persatu halangan menurut kategori sebab adanya :
1). Awaaridlul
saamawiyyah
Yang
termasuk ‘awaaridlul saamawiyah’ ini yaitu : Gila, rusak akal, tidur, pingsan,
lupa, sakit, haid, dan nifas serta
meniggal dunia.
a. gila
Gila mulai lahir atau dating kemudian telah
menghilangkan kemampuan akalnya untuk dapat membedakan mana yang baik dan buruk
dan antara yang baik atau memudorotkan
Keadaan seperti ini tidak menghilangkan
ahliyyatul ada. Sebab ahliyyatul ada harus di dasari kemampuan akalnya.
b. rusak akal
orang yang rusak akal di sebut dengan
ma’tuh. Ucapan atau perbuatan orang ma’tuh tidak menentu, terkadang seperti
ucapan atau perbuatan orang sehat dan terkadang seperti orang gila.
c. tidur
orang yang dalam keadaan tidur masih
memilki kemampuan akal secara sempurna.. hanya saja orang yang tidur itu tidak
mungkin bisa menggunakan akalnya. Oleh karena itu, dia tidak bisa di hadapakan
dengan dalil-dalil hukum.
d. Pingsan
Keadaan pingsan membuat seseorang hilang
kesadaran. Dengan hilangnya itu, seseorang juga tidak bisa di hadapkan dengan
dalil-dalil hukum. Oleh karena itu orang pingsan tak ubah dengan orang tidur.
Jadi ahliyyatul ada’ itu terhalang sampai ia siuman.
e. Lupa
lupa tidak menyebabkan gugurnya ahliyyatul
ada’ dan orang yang memilikinya. Sebab orang yang lupa itu masih memiliki
kesempurnaan akal. Dia masih wajib menunaikan kewajiban hak-hak Allah dan
Hak-hak orang yang lupa itu.
f. Sakit
sakit juga tidak menghilangkan gugurnya
ahliyyatul ada’ . oleh karena itu orang yang sakit masih tetap di tuntut untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang diwajibkan kepadanya, dan perkataannya atau
ucapannya itu adalah sah.
g. Haid dan nifas
Haid dan nifas juga tidak menggurkan
ahliyyatul ada’ hanya saja syara’ menjadikan suci dari keduanya sebagai syarat
sah dalam melakukan sholat dan puasa. Oleh karena itu tidak wajib melakukan
kewajiban itu apabila dalam keadaan haid dan nifas.
h. Meninggal dunia
Kematian seseorang menjadikan gugur semua
ahliyyatul ada .hanya saja hak hak orang yang terdapat padanya misalnya seperti
materi benda tetap ada pada dirinya.
2). Awaaridlul
Muktasabah
Yang termasuk “awaaridlulmuktasabah” yaitu
: safah (serampangan), mabuk, bepergian, kekeliruan ( tidak sengaja ),
bermain-main ( berpura-pura ) hutang, dan paksaan.
a. Safah
Menurut pengertian para Fuqaha safah adalah
ketidakpandaian seseorang dalam mentasharufkan (membelanjakan)hartanya secara
tepat sesuai dengan pertimbangan akal yang sehat dan ketentuan-ketentuan
Syara’.(boros)
Orang safih hakekatnya mempunyai kemampuan
akal sempurna, hanya saja dia tidak dapat menggunakan akalnya dengan baik.
b. Mabuk
Orang yang dalam keadaan mabuk, hilang
kesadarannya sehingga dia tidak dapat menggunakan akalnya . oleh karena itu
pada saat mabuk dia tidak bisa memahami
dalil-dalil hukum yang di hadapkan kepadanya.
c. Berpergian
Berpergian tidak menggugurkan Ahliyyatul
ada’. Semua perbuatan orang yang berpergian maka “Sah” sebagaimana apabila dia
dalam keadaan mukim ( tidak berpergian )
Akan tetapi Syara memberikan
keringanan-keringanan kewajiban bagi orang yang berpergian .
-Menjamak sholat
-Mengqoshor sholat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ahliyyah
adalah sifat yang menunjukan bahwa seseorang yang telah sempurna jasmani
dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya
dapat dinilai oleh syara. Orang yang telah memiliki sifat tersebut
dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum.
Para
usuliyyin membagi ahliyyah al wujub ada 2 bagian :
1. Ahliyyah al wujub an-naqishoh.
Yaitu
anak yang masih berada dalam kandungan ibunya(janin). Janin inilah sudah
dianggap mempunyai ahliyyah wujub akan tetapi belum sempurna.
2. Ahliyyah al wujub al kamilah
Yaitu
kecakapan menerima hak bagi seseorang anak yang telah lahir ke dunia sampai
dinyatakan baligh dan berakal,sekalipun akalnya masih kurang seperti orang
gila.
Penyebab
penghalang ahliyah (‘awarid al ahliyyah) ada dua, yaitu :
1. Awaridh samawiyyah, yaitu halangan yang datangnya
dari Allah bukan disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti: gila, dungu,
perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian mati dan lupa.
2. Al awaridh al muktasabah, yaitu halangan yang
disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, bersalah, dibawah
pengampunan dan bodoh.
DAFTAR PUSTAKA
v Khoirun nisak, 8-Mei-2014, Al ahliyyah (http://kumpulanmakalah-nisa.blogspot.co.id/2014/05/al-ahliyah.html) , akses tgl 21-sep-2016
v Ilmu fiqih jilid II, Proyek Pembinaan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN di
Jakarta, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan islam Departemen Agama 1984/1985
v Prof.Dr.Alaiddin Koto, M.A., 2012, Filsafat Hukum Islam, cetakan ke-1 okt
2012,Jakarta: Fajar Interpratama Offset
No comments:
Post a Comment