BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sebuah ibadah maupun perbuatan
menurut syariat terdapat berbagai macam hukum yaitu wajib, haram, mubah,
makruh, dan sunnah. Adapun suatu perbuatan ataupun ibadah yang dihukumkan
sunnah bertujuan bukan hanya untuk mendapat pahala dan menambah iman saja,
tetapi juga menyempurnakan yang wajib pada hari akhir nanti. Dalam hal ibadah
terdapat yang wajib dan sunnah, begitu juga dalam shalat juga terdapat yang
wajib dan sunnah.
Shalat merupakan salah satu
ibadah dimana seorang hamba mendekatkan diri dan menyembah kepada Tuhan-Nya
Allah swt. Allah swt merupakan Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Penyayang, setiap
perbuatan ataupun ibadah patilah Allah swt berikan suatu keringanan, kemulian,
kenikmatan, dan kebaikan bagi hamba-Nya yang melaksanakannya, begitu juga dalam
shalat baik itu fardhu maupun sunnah juga terdapat kebaikan, kemuliaan,
keringanan, dan kenikmatan bagi yang melaksanakanya dengan penuh ridha kepada
Allah swt.
Dalam pembahasan ini akan
dibahas mengenai beberapa shalat sunnah diantaranya adalah shalat sunnah rawatib,
shalat sunnah jamak dan qashar, serta shalat dua hari raya yaitu shalat Idul
Fitri yang dilaksanakan setelah bulan puasa yaitu pada tanggal 1 Syawal. Dan
shalat Idul Adha yaitu hari raya haji atau kurban dimana dilaksanakan shalat
sunnah yang kemudian dilaksanakan kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pelaksanaan Shalat Sunnah Rawatib Muakkad dan
Ghairu Muakkad, Shalat Jamak Qashar, dan Shalat Dua Hari Raya ?
C. Tujuan
1.
Mengetahui pelaksanaan Shalat Sunnah Rawatib Muakkad dan
Ghairu Muakkad, Shalat Jamak Qashar, dan Shalat Dua Hari Raya ?
1.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Shalat Sunnah Rawatib Muakkad dan Ghairu Muakkad
a.
Pengertian
Shalat Sunnah Rawatib
Shalat sunnah
rawatib adalah shalat yang mengiringi shalat fardhu lima waktu, baik yang
dilakukan sebelum shalat fardhu ataupun sesudahnya. Shalat sunnah sebelum
shalat fardhu disebut shalat sunnah qabliyah, sedangkan shalat sunnah sesudah
shalat fardhu disebut shalat sunnah ba’diyah. Faedah shalat ini adalah menambal
kekurangan dan cacat yang terjadi pada shalat fardhu.[1] Ditinjau dari anjuran
pelaksanaannya, shalat sunnah rawatib terbagi menjadi dua, yaitu Shalat Sunnah
Rawatib Muakkad (ibadah sunnah yang sangat dianjurkan mengerjakannya) dan
Shalat Sunnah Rawatib Ghairu Muakkad (ibadah sunnah yang tidak begitu
dianjurkan untuk melakukannya).[2]
b.
Pembagian
Shalat Sunnah Rawatib Muakkad dan Dalilnya
Adapun shalat sunnah rawatib muakkad terdiri dari :
(1) Dua rakaat sebelum shalat subuh/qabliyah subuh
Rasulullah bersabda:
“Dua rakaat sebelum shalat fajar/subuh lebih baik daripada dunia
dan seisinya.” (HR. Muslim dan Tirmidzi dari Aisyah)
Shalat dua
rakaat sebelum subuh adalah salah satu shalat sunnah yang sangat ditekuni oleh
Rasulullah SAW. Dalam hadits yang bersumber dari Aisyah diterangkan bahwa:
“Sesungguhnya Rasulullah tidak mengerjakan shalat sunnah setekun
mengerjakan dua rakaat sebelum Subuh.” (HR. Bukhari Muslim)[3]
Adapun Niat
Shalat Sunnah Rawatib sebelum shalat subuh/qabliyah subuh:
اُصَلِّي
سُنَّةَ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ قَبْلِيَةً لِلّهِ تَعَالَى
“Sehajaku shalat sunnah dua rakaat sebelum
subuh karena Allah Ta’ala”
(2) Dua rakaat sebelum shalat zuhur/qabliyah zuhur
Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan tentang
keutamaan rawatib zuhur. Dia berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu‘alaihi
wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menjaga (shalat) empat rakaat sebelum
zuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah haramkan baginya api neraka.” (HR.
Ahmad)[4]
Adapun niat shalat sunnah rawatib sebelum shalat zuhur/qabliyah
zuhur:
اُصَلِّي
سُنَّةَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ قَبْلِيَةً لِلّهِ تَعَالَى
“Sehajaku shalat
sunnah dua rakaat sebelum zuhur karena Allah Ta’ala”
(3) Dua rakaat sesudah shalat zuhur/ba’diyah zuhur
Kemudian niat shalat sunnah rawatib ba’diyah zuhurnya:
اُصَلِّي
سُنَّةَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ بَعْدِيَةً لِلّهِ تَعَالَى
“Sehajaku shalat sunnah dua rakaat sesudah zuhur karena Allah Ta’ala”
(4) Dua rakaat sesudah shalat maghrib/ba’diyah maghrib
Ibnu Mas’ud ra.
Berkata, “Aku sudah tidak bisa menghitung berapa kali aku mendengar
Rasulullah membaca surah Al-Kafirun dan Al-Ikhlas ketika melakukan shalat 2
rakaat sesudah maghrib dan 2 rakaat sebelum subuh.” (HR. Ibnu Majah)
Mahmud bin
Labid meriwayatkan, “Rasulullah mendatangi bani Abdul Ash-hal. Beliau menjadi
imam shalat maghrib mereka. Setelah salam, beliau bersabda, “Lakukan 2
rakaat ini di rumah kalian.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa’i)[5]
Niat shalat sunnah ba’diyah maghrib:
اُصَلِّي
سُنَّةَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ بَعْدِيَةً لِلّهِ تَعَالَى
“Sehajaku shalat
sunnah dua rakaat sesudah maghrib karena Allah Ta’ala”
(5) Dua rakaat sesudah shalat isya/ba’diyah isya
“Rasulullah SAW mengerjakan shalat sesudah isya sebanyak empat
rakaat, baru setelah itu beliau tidur.”
(HR. Abu Daud)[6]
Niatnya sebagai berikut:
اُصَلِّي
سُنَّةَ الْعِشَاءِ رَكْعَتَيْنِ بَعْدِيَةً لِلّهِ تَعَالَى
Dari keterangan
pembagian shalat sunnah rawatib tersebut bersumber pada hadits Nabi Muhammad
SAW, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang artinya : Dari Abdullah
bin Umar ra. ia berkata, “Aku menghafal dari Nabi SAW 10 rakaat, yaitu: 2
rakaat sebelum zuhur, 2 rakaat sesudah zuhur, 2 rakaat sesudah maghrib, 2
rakaat sesudah isya dan 2 rakaat sesudah subuh.”(HR. Bukhari Muslim)
c.
Pembagian
Shalat Sunnah Rawatib Ghairu Muakkad dan Dalilnya
Kemudian Shalat
sunnah rawatib ghairu muakkad terdiri dari:
1) Dua atau Empat
rakaat sebelum shalat ashar/qabliyah ashar (jika dikerjakan 4 rakaat, kerjakan
dengan 2 kali salam)[7]
Hal ini didasarkan pada hadits dari Ibnu
Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Allah merahmati orang yang mengerjakan
shalat sunnah sebelum Ashar empat rakaat.” (HR. Tirmidzi)
Niatnya:
اُصَلِّي
سُنَّةَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ قَبْلِيَةً لِلّهِ تَعَالَى
“Sehajaku shalat sunnah dua rakaat sebelum ashar karena Allah
Ta’ala”
2) Dua rakaat sebelum maghrib/qabliyah maghrib
Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., “Saat itu, kami shalat 2
rakaat sebelum matahari terbenam. Rasulullah melihat kami, beliau tidak
menyuruh dan tidak melarang.”[8]
Niatnya:
اُصَلِّي
سُنَّةَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ قَبْلِيَةً لِلّهِ تَعَالَى
“Sehajaku shalat sunnah dua rakaat sebelum maghrib karena Allah Ta’ala”
3) Dua rakaat sebelum isya/qabliyah isya
“Diantara setiap azan dan iqamah ada shalat sunnah, di antara
setiap adzan dan iqamah ada shalat sunnah.” Beliau bersabda untuk kali
ketiganya, “Bagi yang mau” (HR. Bukhari
dari Abdullah bin Mughaffal)
Niatnya:
اُصَلِّي
سُنَّةَ الْعِشَاءِ رَكْعَتَيْنِ قَبْلِيَةً لِلّهِ تَعَالَى
Shalat sunnah rawatib muakkad dan ghairu muakkad dikerjakan sesuai
dengan ketentuan berikut:
a.
Dikerjakan
tidak berjama’ah (sendiri-sendiri)
b.
Bacaan
tidak dikeraskan
c.
Tanpa
adzan dan iqamah
d.
Diutamakan
berpindah tempat shalat sunnah dari tempat shalat fardhu.[9]
Jika
seseorang tidak sempat melakukan shalat sunnah yang ditentukan waktunya maka
menurut pendapat yang azhhar disunahkan untuk mengqadhanya. Rasulullah pernah
mengqadha salat sunnah qabliyyah subuh yang tidak sempat dilakukan kerena
ketiduran ketika dalam perjalanan dalam suatu lembah. Beliau juga mengqadha
shalat sunnah zuhur setelah shalat ashar. Shalat-shalat tersebut sunnah diqadha
karena berkaitan dengan waktu seperti shalat-shalat fardhu baik dalam
perjalanan maupun dirumah.[10]
B.
Shalat
Jamak dan Qashar
a)
Shalat Jamak
1) Pengertian dan Dalil Shalat Jamak
Shalat jamak
merupakan shalat yang digabungkan, yaitu menggabungkan dua shalat fardhu yang
dikerjakannya dalam satu waktu. Seperti menggabungkan shalat dzuhur dengan
ashar yang dikerjakannya dalam waktu dzuhur atau dzuhur yang dikerjakan diwaktu
ashar.[11]
Shalat fardu
yang diperbolehkan untuk dijamak adalah shalat Dzuhur dengan Ashar dan Shalat
Maghrib dengan Isya. Maka tidak diperbolehkan menjamak shalat yang pasangannya
berbeda. Seperti menjamak shalat Ashar dengan Maghrib. [12]
Dalil Shalat Jamak
Rasulullah jika dia berpergian sebelum matahari tergelincir, maka ia
akan mengakhirkan shalat Dzuhur sampai waktu Ashar, lalu ia berhenti kemudian
menjamak antara dua shalat tersebut, namun jika matahari sudah tergelincir
(sudah masuk waktu Dzuhur) sebelum ia pergi, maka ia melakukan shalat Dzuhur
(dahulu) kemudian beliau naik kendaraan (berangkat), (H.R Bukhari dan Muslim)[13]
2) Sebab diperbolehkan menjamak
·
Menurut kesepakatan sebagian besar imam mazhab yaitu dalam perjalanan
jauh minimal 81 km
·
Perjalanan yang tidak bertujuan untuk mengerjakan maksiat’
·
Dalam keadaan sangat ketakutan atau khawatir, dalam keadaan sakit,
hujan lebat, angina topan dan bencana alam[14]
3) Macam- macam dan cara melakukan shalat jamak
·
Jamak Takdim ( yang didahulukan ), menjamak dua shalat yang dilakukan
pada waktu yang pertama . contohnya melakukan shalat Dzuhur dengan Ashar
diwaktu Dzuhur dan melaksanakan Jamak maghrib dengan Isya diwaktu maghrib.
Niat Jamak Taqdim Dzuhur dengan Ashar di waktu
Dzuhur :
اُصَلِّى
فَرْضَ الظُهْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ جَمْعًا تَقْدِيْمًا مَعَ العَصْرِ فَرْضًا
للهِ تَعَالى
“Sehajaku Shalat Fardu Dzuhur Empat Rakaat
yang dijamak dengan Ashar, dengan jamak taqdim , fardhu karena Allah Ta’ala “
Kemudian Takbiratul Ihram , shalat Dzuhur 4 rakaat
seperti biasa, Setelah salam langsung berdiri lagi dan berniat shalat yang
kedua (Ashar), tidak boleh diselingi perbuatan atau perkataan misalnya zikir,
berdoa dll.
Niat Shalat Asharnya
اُصَلِّى فَرْضَ العَصْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ جَمْعًا تَقْدِيْمًا
مَعَ الظُهْرِ فَرْضًا للهِ تَعَالى
“Sehajaku Shalat Fardhu Ashar Empat Rakaat yang
dijamak dengan Dzuhur, dengan jamak taqdim. Fardhu karena Allah Ta’ala”.
·
Jamak Takhir ( yang diakhirkan ) menjamak waktu shalat yang dilakukan
pada waktu yang kedua. Seperti melakukan shalat Maghrib dengan Isya yang mana
Shalat Maghrib dikerjakan pada saat waktu Isya.’
Niat Jamak Takhir Maghrib dengan Isya diwaktu Isya
‘
اُصَلِى
فَرْضَ المَغْرِبِ ثَلاَثَ رَكَعَاتٍ جَمْعًا تَأخِيْرًا مَعَ العِشَاءِ فَرْضًا
للهِ تَعَالَى
“Sehajaku Shalat Fardu Maghrib 3 Rakaat yang dijamak dengan Isya dengan
jamak takhir, fardhu karena Allah Ta’ala”
Kemudian ketentuannya sama dengan Jamak Taqdim
Niat Jamak Takhir Isya
اُصَلّى فَرْضَ العِسَاءِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ جَمْعًا تَأخِيْرًا مَعَ
المَغْرِبِ فَرْضًا للهِ تَعَالَى
“Sehajaku Shalat Fardu Isya 4 rakaat yang dijamak dengan Maghrib dengan
jamak takhir, fardhu karena Allah Ta’ala”.[15]
4) Syarat sah Jamak Taqdim
1
Berniat menjamak Shalat kedua pada shalat pertama
2
Mendahulukan shalat pertama’
3
Berurutan
Untuk Jamak Takhir
1. Berniat ( melafazhkan pada shalat pertama untuk
mentakhirkan shalat )
2. Berurutan tidak ada selingan[16]
b)
Shalat Qashar
1) Pengertian dan Dalil Shalat Qashar
Shalat
qashar adalah shalat yang diperpendek atau diperingkas bilangan rakaatnya.
Shalat yang dapat diqashar adalah shalat yang jumlah rakaatnya ada 4 seperti
Dzuhur, Ashar dan Isya.
Dalil Shalat Qashar
Qs. An-Nisa: 101
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidak mengapa kamu
mengqashar shalatmua, jika kamu takut diserang orang-orang kafir…”
2) Hukum dan Syarat Shalat Qashar
1. Jaiz (boleh) dalam perjalanan yang jauh yang yang
telah mencapai jarak yang ditentukan’
Syarat qashar
a. Dalam keadaan berpergian yang tidak melakukan
perjalanan yang bertujuan untuk maksiat
b. Jarak perjalanan minimal 48 mil atau sekitar 78 km[17]
3) Niat Sholat Qashar
Seperti melakukan Qashar shalat Dzuhur
اُصَلّى فَرْضَ الظُهْرِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا للهِ تَعَالى
“sehajaku sholat fardhu Dzuhur dua rakaat qashar karena Allah Ta’ala”
c)
Shalat Jamak Qashar
Para ulama fiqih telah menyepakati bahwa qashar
shalat boleh dilakukan oleh musafir. Adapun cara pelaksanaannya sebagai berikut
:
Pertama, shalat qashar jamak taqdim yaitu meringkas dan mengumpulkan dua shalat
fardhu dikerjakan dalam waktu shalat yang pertama, misalnya shalat Dzuhur dan
Ashar dikerjakan pada waktu Dzuhur diringkas menjadi dua rakaat Sholat Dzuhur
dan dua rakaat Sholat Ashar
Niat Shalat Dzuhur
اُصَلّى فَرْضَ الظُهْرِ رَكْعَتَيْنِ
قَصْرًا مَجْمُوْعًا اِلَيْهِ العَصْرُ جَمْعَ تَقْدِيْمًا للهِ تَعَالَى
Niat Shalat Ashar
اُصَلّى فَرْضَ العَصْرِ رَكْعَتَيْنِ
قَصْرًا مَجْمُوْعًا اِلَى الظُهْرِ جَمْعَ تَقْدِيْمًا للهِ تَعَالَى
Caranya : dikerjakan terlebih dahulu sholat Dzuhur dua rakaat, setelah salam
dilanjutkan dengan sholat Ashar dua rakaat.[18]
Kedua, shalat
qashar jamak takhir yaitu meringkas dan juga mengumpulkan dua shalat fardu
dalam waktu yang kedua.
Caranya : dikerjakan terlebih dahulu sholat
maghrib tiga rakaat, kemudia disambung dengan sholat isya diringkas menjadi dua
rakaat.[19]
C.
Shalat
Dua Hari Raya
Dua
hari raya adalah Idul Adha dan Idul Fitri, keduanya merupakan perayaan syar’i.
Idul Fitri merayakan selesai kaum muslimin puasa Ramadhan yaitu pada tanggal 1
Syawal. Sedangkan Idul Adha merayakan penutupan kaum muslimin sepuluh hari
pertama Bulan Dzulhijjah yaitu tanggal 10 Dzulhijjah. Disebut
dengan Id karena (يَعُوْدُ)
“kembali dan berulang” pada waktunya. Hukum shalat dua hari raya adalah sunnah
muakkad.[20] Dalam
Firman Allah swt:[21]
!$¯RÎ) »oYøsÜôãr& trOöqs3ø9$# , Èe@|Ásù y7În/tÏ9 öptùU$#ur
“Sesungguhnya Kami telah
memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu;
dan berkurbanlah.” Q.S Al-Kautsar: 1-2
ôs% yxn=øùr& `tB 4ª1ts? , tx.sur zOó$# ¾ÏmÎn/u 4©?|Ásù
“Sesungguhnya beruntunglah
orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan Dia ingat nama Tuhannya,
lalu Dia sembahyang.” Q.S Al-A’la: 14-15
1. Syarat-syarat Shalat Id
Diantaranya yang paling penting adalah;
masuk waktunya, adanya bilangan (jumlah jamaah) yang diperhitungkan, dan
menetap (mukmin). Karena itu tidak boleh shalat sebelum waktunya, tidak boleh
kurang dari tiga orang, dan tidak wajib atas musafir yang tidak menetap.[22]
2. Tempat-tempat yang digunakan Shalat Id
Disunnahkan shalat di luar bangunan[23] bila ada udzur dilakukan di masjid, maka tidak mengapa.[24]
3. Waktu Shalat Id
Waktu
shalat Id dimulai saat matahari setinggi kira-kira tiga meter dan berakhir
apabila matahari bergeser ke barat..[25] Hadis riwayat Ahmad
Hassan Al-Banna :[26]
“Rasulullah saw mengerjakan shalat Idul
Fitri bersama kami, saat matahari setinggi kira-kira dua tombak, dan
mengerjakan shalat Idul Adha saat matahari setinggi kira-kira satu tombak” [27]
4. Bacaan dalam Shalat Id
Niat shalat Id :[28]
a. Idul Fitri
أُ صَلِّى صُنَّةً لِعِيْدِ الْفِطْرِ
رَكْعَتَيْنِ لِلهِ تَعَا لَى
“Aku niat shalat sunnah ‘Idul Fitri dua rakaat karena
Allah ta’ala”.
b. Idul Adha
أُ صَلِّى صُنَّةً لِعِيْدِ الْاَضْحَى
رَكْعَتَيْنِ لِلهِ تَعَا لَى
“Aku niat shalat ‘Idul Adha dua rakaat karena Allah
ta’ala”.
Shalat hari raya ada dua rakaat. Pada
rakaat pertama bertakbir sebanyak tujuh kali setelah takbiratul ihram dan iftitah
serta sebelum ta’awwudz, membaca Al-Fatihah[29] disambung dengan surah
yang disukai, lebih utama surah Qaf dan al- A’la.[30] Pada rakaat kedua
bertakbir lima kali, tidak termasuk takbir bangkit dari sujud. Nabi saw
bersabda :
“Bertakbir pada shalat Idul Fitri tujuh
kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua, dan bacaan dilakukan
sesudah itu” (H.R. Abu Dawud dan Daruquthni)[31]
Setiap takbir mengangkat kedua tangan.[32] Disunnahkan setiap takbir
membaca tasbih:[33]
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلهِ وَلآ
اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ
“Maha suci Allah, dan segala puji bagi
Allah, tidak ada tuhan melainkan Allah dan Allah Maha Besar.”
Dirakaat kedua membaca surah Al-Qamar dan Al-Ghasiyyah.[34]
5.
Khutbah
Waktu khutbah pada shalat id adalah sesudah waktu shalat Id.[35] Temanya adalah yang
memiliki cakupan luas dan universal untuk seluruh perkara-perkara agama,
mengajak kaum Muslimin membayar zakat fitrah, menjelaskan kepada mereka apa
yang harus dibayarkan, mendorong kaum Muslimin untuk berkurban, dan menjelaskan
hukum-hukumnya.[36]
6. Hari Raya yang Jatuh Pada Hari Jum’at
Apabila jatuh pada hari Jumat, gugurlah
kewajiban shalat Jum’at bagi orang yang sudah mengerjakan shalat hari raya.
Sementara itu tetap disunnahkan mengerjakan shalat Jumat agar dapat diikuti
oleh orang yang ingin menghadirinya atau oleh orang-orang yang pagi harinya
tidak sempat mengikuti shalat hari raya.[37]
7. Sunnah-sunnahnya : [38]
a. Disunnahkan menggelar Shalat Id di tanah lapangan dan terbuka
dimana kaum Muslimin berkumpul dan bila ada udzur dilakukan di masjid, maka
tidak mengapa.
b. Disunnahkan menyegerakan Shalat Idul
Adha dan menunda Shalat Idul Fitri.
c. Disunnahkan makan beberapa kurma sebelum
berangkat untuk Shalat Idul Fitri dan hendaklah tidak makan pada hari raya Idul
Adha sampai shalat.
d. Disunnahkan kaum wanita dan anak-anak ramai-ramai
mendatangi tempat shalat.[39]
e. Disunnahkan berangkat di awal waktu saat
keluar untuk Shalat Id setelah subuh dengan berjalan kaki.
f. Seorang Muslim disunnahkan berhias,
mandi, memakai pakaian terbaik, dan memakai wewangian.
g. Disunnahkan berkhutbah dan mendengarkan
khutbah.[40]
i. Disunnahkan mengambil jalan yang berbeda
saat pulang dan saat pergi.
j. Disunnahkan mengucapkan selamat hari
raya.[41]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Shalat sunnah rawatib yaitu shalat yang
mengiringi shalat fardhu lima waktu, baik yang dilakukan sebelum shalat fardhu
ataupun sesudahnya. Shalat sunnah rawatib terbagi dua, yaitu Muakkad (ibadah sunnah yang sangat dianjurkan
mengerjakannya) dan Ghairu Muakkad (ibadah sunnah yang tidak begitu dianjurkan untuk
melakukannya.
Shalat jamak, yaitu menggabungkan dua shalat fardhu yang dikerjakannya dalam satu waktu. Shalat yang boleh dijamak adalah shalat Dzuhur dengan
Ashar dan Shalat Maghrib dengan Isya. Diperbolehkan karena perjalanan
jauh yang mencapai 81 km yang tujuannya bukan maksiat ataupun karena takut dan
kawatir karena dikenai musibah. Shalat qashar yaitu shalat yang diringkas
bilangan rakaatnya yaitu shalat
yang jumlah rakaatnya 4 seperti
Dzuhur, Ashar dan Isya. Diperbolehkan karena perjalanan jauh yang
mencapai 78 km yang tujuannya bukan maksiat.
Shalat dua hari raya,
yaitu Idul Fitri dan Idul Adha dilaksanakan pada waktunya, tidak boleh kurang dari tiga orang, dan
tidak wajib atas musafir yang tidak menetap. Dalam shalatnya dengan membaca
niat, pada rakaat pertama bertakbir sebanyak tujuh kali, kemudian membaca
Al-Fatihah dan surah Qaf dan al-A’la, pada rakaat kedua bertakbir sebanyak lima
kali, kemudian membaca surah al-Qamar dan Al-Ghasiyyah.
B. Saran
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan baik itu dari segi
isi dan bentuk pengetikan. Karena itu kami sebagai pemakalah menerima berbagai
kritik dan sarannya dari para pembaca sekalian. Kami berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat para pembaca dan kami sendiri sebagai pemakalah khususnya
dalam hal ibadah yaitu shalat sunnah rawatib, jama, qashar, dan dua hari raya.
DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syaikh, Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Fikih
Muyassar “Panduan Praktis Fikih dan Hukum Islam”, Penerjemah: Izzudin
Karimi, (Jakarta: Darul Haq, 2015)
El-Hamdy, Ubaidurrahim,
“Super Lengkap Shalat Sunnah”, (Jakarta: Wahyu Qolbu, 2014)
Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunnah, (Kairo: Darul Fath Lil I'lam Al-'Arobi, 2000)
Nuhuyanan, Abdul
Kadir, Panduan Shalat Lengkap & Praktis Sesuai Petunjuk Rasulullah,
(Jakarta: Akbar Media, 2012)
Wahbah
Az-Zuhaili, “Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9”, Penerjemah: Abdul Hayye
al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2011)
Mahima Diahloka, Buku Pintar Beribadah Dalam Perjalanan, (Jalur
Taqwa),
https://www.academia.edu/37528654/SHALAT_JAMAK_DAN_QASHAR_Program_Studi_Pendidikan_Bahasa_Arab
Nuhuyanan, Abdul
Kadir, Pedoman & Tuntunan SHALAT
lengkap, (Depok: Gema Insani, 2002)
Al-Jazairi, Abu
Bakr Jabir, Ensiklopedia Muslim, Penerjemah: Fadhli Bahri, (Bekasi: PT. Darul Falah, 2009)
Moh. Rifa’I, Risalah ”Tutunan Shalat Lengkap”, (Semarang: PT.
Karya Toha Putra, 2016)
[1] Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu asy-Syaikh, Fikih
Muyassar “Panduan Praktis Fikih dan Hukum Islam”, Penerjemah: Izzudin
Karimi, Jakarta : Darul Haq, 2015, hlm. 358
[2] Ubaidurrahim
El-Hamdy, Super Lengkap Shalat Sunnah, (Jakarta: Wahyu Qolbu, 2014),
hlm. 18
[3] Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunnah, (Kairo: Darul Fath Lil I'lam Al-'Arobi, 2000), hlm.256
[4] Ibid, hlm.
261
[5] Ibid,
hlm. 263
[6] Ibid,
hlm. 265
[7] Ibid., hlm. 264
[8] Ibid., hlm. 266
[9] Abdul Kadir
Nuhuyanan, Panduan Shalat Lengkap & Praktis Sesuai Petunjuk Rasulullah,
(Jakarta: Akbar Media, 2012), hlm. 66
[10] Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9, Penerjemah: Abdul Hayye
al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 367
[11] Mahima
Diahloka, Buku Pintar Beribadah Dalam
Perjalanan, (Jalur Taqwa), hlm. 4
[12] Ibid.,
hlm. 46
[13] Ibid.,
hlm. 45
[14] Ibid., hlm. 46
[15] Ibid.,
hlm. 48-49
[16] Ibid.,
hlm. 49
[17]https://www.academia.edu/37528654/SHALAT_JAMAK_DAN_QASHAR_Program_Studi_Pendidikan_Bahasa_Arab
[18]Abdul Kadir
Nuhuyanan, Pedoman & Tuntunan SHALAT
lengkap, (Depok: Gema Insani, 2002), hlm. 39
[19] Ibid., hlm.
39
[20] Syaikh Shalih,
Op., cit., hlm. 168-169
[21] Abu Bakr Jabir
Al-Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Penerjemah: Fadhli Bahri, (Bekasi: PT. Darul Falah, 2009), hlm. 364-365
[22] Syaikh Shalih, Op., cit., hlm. 169
[23] Ibid.
[24] Ibid., hlm. 172
[25] Sayyid Sabiq, Op., cit., hlm. 472
[26] Ibid., hlm. 472-473
[27] Satu tombak diperkirakan panjang 3 meter.
[28] Moh. Rifa’I, Risalah ”Tutunan Shalat Lengkap”, (Semarang:
PT. Karya Toha Putra, 2016), hlm.118
[29] Syaikh Shalih, Op., cit., hlm. 171
[30] Moh. Rifa’I, Op., cit.
[31]
Sayyid Sabiq, Op., cit., hlm. 474
[32] Ibid., hlm. 473
[33] Moh. Rifa’I, Op., cit.
[34] Syaikh Shalih, Op., cit., hlm. 171
[35] Ibid., hlm. 172
[36] Ibid., hlm. 173
[37] Sayyid Sabiq, Op., cit., hlm. 469-470
[38] Syaikh Shalih, Op., cit., hlm. 172-173
[39] Sayyid Sabiq, Op., cit., hlm. 472
[40] Ibid., hlm. 476
[41] Ibid., hlm 481
No comments:
Post a Comment