BAB I
PENDAHULUAN
Islam sebagai agama yang mengatur segala aspek bagi kehidupan manusia
pastinya memiliki dasar yang paling penting yaitu keadilan. Dalam hal ini, segala
jenis kejahatan memang diharapkan pupus di dalam dunia ini. Akan tetapi
terbukti dari awal kehidupan makhluk bernama manusia wujud kejahatan tetap ada
dan tidak pernah luput di atas bumi. Kejahatan tersebut berupa pembunuhan,
penderaan, dan lain sebagainya.
Qishash, hudud dan ta’zir adalah cabang dari ilmu fiqih, yang merupakan
syariat Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits rasulullah SAW. Qishash,
hudud dan ta’zir merupakan pembahasan fiqih dalam ruang lingkup fiqih jinayat
(hukuman). Hal ini sangat penting untuk dibahas dan dibicarakan, karena
membahas mengenai hukuman-hukuman bagi orang yang melanggar aturan atau
perintah dari Allah SWT. Tanpa adanya sebuah sanksi hukuman makan sulit untuk
menegakkan suatu hukum ataupun aturan yang dibuat untuk ketertiban dan
kedamaian ummat manusia khususnya dalam agama islam.
Hukuman qishash dan hudud telah ditentukan dan ditetapkan bentuk serta
polanya oleh syara’, baik bentuk hukumannya maupun jenis dan kategori
kejahatannya. Sehingga seorang hakim tidak memiliki wewenang dan ototritas
untuk menentukannya sesuai situasi dan kondisi pelaku kejahatan atau situasi
dan kondisi kejahtan yang dilakukan. Adapun hukuman ta’zir, maka penentuan
ukurannya diserahkan kepada penilaian dan kebijakan hakim untuk memilih bentuk
hukuman dan sanksi yang pas dan sesuai dengan situasi dan kondisi terdakwa,
kepribadiannya, catatan kriminalitasnya, tingkat efektifitas pengaruh suatu
hukuman terhadap dirinya, tingkat kondisi kejahatan dan seberapa jauh efek
kejahatan itu terhadap masyarakat.
Untuk itu segala sanksi baik yang berupa fisik ataupun hal lain wajib dilaksakan
apabila telah terjadi pelanggaran. Hal ini diharapkan agar dapat membawa efek
jera bagi pelaku dan membuat mereka bertaubat. Qishash, hudud, dan ta’zir hanya
berlaku dinegara asia barat saja seperti Arab Saudi dan sekitarnya, namun ada
juga segelintir kota yang ada disuatu negara menerapkan hal yang sama. Di
negara tersebut hukum-hukum islam ini berjalan dan berkembang dengan pesat, dan
dilakukan dengan baik oleh pemerintahnya.
Sebenarnya kalau hukum yang dibuat manusia belum sepenuhnya bisa mengikat,
dan hal tersebut bisa direkayasa dan sekaligus bisa dilanggar, karena pada
intinya hanya hukum islamlah yang sangat cocok bagi kehidupan ummat manusia di
dunia. Hal ini terbukti dengan adanya hukum islam banyak negara yang merasa
cocok dengan berlakunya hukum islam. Tapi ada satu hal yang masih menjadi satu
pertanyaan apakah benar hukum islam itu sulir diterapkan dalam suatu tatanan
kemasyarkatan atau itu hanya sebuah alasan dari segelintir orang yang tidak
suka terhadap aturan tersebut.
Hukum islam tentang orang yang melakukan kejahatan sesama manusia tidak
berlaku di Indonesia atau negara islam lainnya kecuali di negara Arab dan
sekitarnya. Oleh karena itu, ketika islam turun, ia memiliki hukum dan hukuman
bagi pelaku kejahatan-kejahatan. Adapun tujuan hukum islam yang disebut Dharurriyat
Al-Khams yaitu lima tujuan hukum utama hukum islam yang telah disepakati
bukan hanya oleh ulama islam melainkan juga seluruh agamawan. Kelima tujuan
utama tersebut adalah memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,
memelihara keturunan atau kehormatan, dan memelihara harta.
Berbicara mengenai fiqih, maka kita akan menemukan banyak sekali
perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam mengungkapkan hasil
penelitiannya yang secara fundamental dapat mengubah cara pandang kita terhadap
islam. Sehingga sangat penting bagi kita untuk menambah wawasan pengatahuan
dalam hal tersebut dengan cara mencari data-data yang akurat (valid) termasuk
dengan menyusun makalah ini. Kami menjelaskan tentang hukum islam yaitu qishash,
hudud, dan ta’zir kepada pembaca. Karena sebagai ummat islam kita harus
mengetahui hukum islam untuk orang yang melakukan kejahatan atau pelanggaran
yang meyakiti, melukai atau merugikan sesama manusia, sehingga kita mendapat
hikmah dari hal tersebut dan khususnya dapat membawa efek jera bagi si pelaku
kejahatan dengan tegasnya hukum islam dalam mengatuh kehidupan ummat manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. QISHASH
1. Pengertian
Qishash
Menurut bahasa, qishash (قصاص ) berasal dari kata (
قصص ) yang berarti “ memotong “ atau dari kata
( اقتص )
yang artinya “ mengikuti “, yakni balasan yang mengikuti perbuatan jahat
seseorang. Menurut pengertian syariat islam, qishash ialah pembalasan yang
serupa atau setimpal bagi orang yang melakukan pembunuhan, melukai, merusak
anggota tubuh atau menghilangkan fungsi yang dilakukan dengan sengaja
Dari pengertian tersebut, maka qishash dapat
di kelompokan menadi 2 macam, yaitu
a) Qishash Jiwa, yakni hukuman bunuh bagi pelaku
tindak pidana pembunuhan.
b) Qishash anggota badan, yakni hukuman qishash
bagi pelaku tindak pidana melukai anggota tubuh, merusak anggota tubuh, atau
menghilangkan fungsinya.[1]
2. Syarat-syarat qishash Pidana pembunuhan
a) Syarat bagi pelaku pembunuhan
·
orang yang sudah baliq dan berakal sehat ( mukalaf ).
·
pembunuh bukan orang tua dari yang dibunuh.
b) Syarat bagi yang dibunuh
·
orang yang dibunuh sama derajatnya.
·
orang yang dibunuh itu adalah orang yang berhak
dilindungi jiwanya
c) Jenis pelakunya
·
pembunuh dilakukan secara sengaja dengan pembuktian yang
meyakinkan. Pembunuhan yang dilakukan menyerupai sengaja atau tidak sengaja,
tidak dikenai hukum qishash. Begitu pila dilakukan dibawah tekanan, paksaan,
atau ancaman orang lain.
·
Pelaksanaan qishash yang dilakukan dengan jenis barang
yang digunakan oleh yang membunuh atau yang melukainya.
3. Qishash tindak pidana kejahatan anggota tubuh
Setiap keahatan yang dilakukan seseorang terhadap prang lain akan dikenakan
sanksi qishash, baik memotong, melukai atau pun menghilangkan fungsi anggota
tubuh.
Bentuk qishash dalam tindak pidana kejahatan anggota tubuh hukumannya
disesuaikan dengan keahatan yang dilakukannya sebagaimana dijelaskan dalam
Surah Al-Ma’idah ayat 45. Kejahatan terhadap mmata dibalas mata, hidung dengan
balasan hidug, telinga dengan balasan telinga dan jenis melukai dibalas dengan
balasan melukai. Dalam hal ini ulama fiqih berpendapat bahwa hukuman qishash
terhada[ kejahatan memotong atau menghilangkan anggota tubuh tersebut
dilaksanakan hanya jika memungkinkan atau memenuhi persyaratan. Akan tetapi,
apabila tidak memungkinkan atau tidak memenuhi persyaratan, hukumannya adalah
hukuman pengganti berupa diyat dan ta’zir.[2]
4. Pembunuhan oleh Massa
Pembunuhan yang dilakukan beramai-ramai oleh orang banyak, maka semua yang
terlibat terkena hukuman qishash, meskipun diantara mereka ada yang
keterlibatannya tidak langsung. Misalnya, hanya sebagai otak pelakunya.
Dalam hal ini Ibnu Abbas pernah berpendapat : “ Jika sekelompok orang
membunuh seseorang, mereka mereka semua harus dikenai hukuman bunuh, dengan
cara yang sama, meskipun jumlah mereka sampai 100 orang “. Begitu pula sahabat
Umar bin Khattab, pernah menghukum lima atau enam orang yang membunuh seorang
laki-laki secara zalim.
Hukuman pokok pada jariyah pembunuhan sengaja adalah qishash yaitu dibunuh
kembali. Sebagai hukum pokok, qishash mempunyai hukuman pengganti, yaitu
apabila keluarga korban menghapuskan hukuman pokok ini qishash pun tidak dapat
diatuhkan dan digantikan dengan hukuman diyat. Diyat pun kalau seandainya di
maafkan dapat dihapuskan dan sebagai gantinya, hakim menjatuhkan hukuman
ta’zir. Jadi qishash hukuman pokok mempunyai dua hukuman pokok pengganti yaitu
diyat dan ta’zir.
Adapun penganiayaan sengaja adalah suatu bentuk perbuatan yang dilakukan
secara sengaja dengan sasaran anggota badan atau hilangnya fungsi anggota
badan.
Hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang terbaik sebab mencerminkan
keadilan. Si pelaku mendapat imbalann yang sama (setimpal) dengan perbuatan
yang dia dilakukan terhadap orang lain. Hukuman ini akan menjadikan pelaku berpikir
dua kali untuk melakukan yang yang serupa mana kala dia mengingat akibat yag
sama yang akan di timpakan kepadanya.
Dalam hal penganiayaan sengaja yang dimaafkan korban dan diganti dengan
diyat dengan mengutip Ahmad Hanafi – Rasulullah menentukan sanksinya, apabila
melukai kepala atau muka yang sampai menampakan tulang, diyatnya adalah lima
ekor unta. Bagi pelukaan yang mematahkan tulang, dikenakan hukuman sepuluh ekor
unta. Pelukaan yang mengenai lapisan otak dan juga masuk perut, hukumannya adalah
sepertiga diyat atau kurang lebih tiga puluh tiga ekor sebab diyat itu seratus
ekor unt. Jadi, diyat pada penganiayaan sengaja tersebut bukan hukumn pokok,
anamun hukuman pengganti dari qishash yang dihapuskan atau karena suati sebab
tidak dapat di jatuhkan .[3]
B. HAD/HUDUD
1. Pengertian Hudud
Hudud adalah bentuk jamak dari kata had yang berarti pembatas, pembatas
antara dua hal.
اَلْحَدُّ لُغَةَ : اَلْفَصْلُ بَيْنَ الشَيْئَيْنِ
لِئَلاًّ يَخْتَلِطَ اَحَدُ هُمَا بِااْلآَ خَرِ اَوْ لِئَلاًّ يَتَعَدًّى اَحَدُ
هُمَا عَلَى الْاخَرِ
Artinya: “al had menurut bahasa adalah pembatas antara dua hal agar salah
satunya tidak bercampur dengan yang lain atau agar salah satunya tidak
melanggar yang lain.”
Dalam istilah syara’ had mempunyai arti umum
dan khusus :
Pengertian
had secara umum adalah hukum-hukum syara’ yang disyariatkan Allah bagi
hamba-Nya yang berupa ketetapan hukum halal atau halal. Hukum-hukum tersebut
dinamakan hudud karena membedakan antara jenis perbuatan yang boleh dikerjakan
dan tidakboleh dikerjakan, anatara yang halal dan yang haram.
Adapun
arti hudud secara khusus, yaitu hukuman-hukuman tertentu yang ditetapkan oleh
syara’ sebagai sanksi hukum terhadap perbuatan kejahatan selain pembunuhan dan
peganiayaaan, seperti huuman terhadap orang yang berzina, mencuru qadzaf, dan
sebagainya. Kejahatan yang diancam dengan hukuman hudud/had adalah zina, qadzaf
(menuduh berzina), meminum minuman keras, mencuri, merampok dan bughah
(memberontak), riddah dan meninggalkan shalat.[4]
a. Zina
Zina adalah melakukan hubungan intim antara laki-laki dan perempuan di luar
nikah. Orang yang melakukan zina ada dua macam yaitu :
a. Muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh seseorang yang
sudah pernah menikah dan hadnya dirajam.
b. Ghairu muhsan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang
belum menikah, hadnya didera 100 kali dan diasingkan selama satu tahun ketempat
yang sejauh jarak mengqashar shalat atau kedaerah yang lain sampai bertaubat.
Namun, jika pelaku zina itu budak, baik
laki-laki maupun perempuan baik yang telah menikah atau belum, jika berzina
keduanya didera 50 kali dan diasingkan selama setengah tahun.[5]
Syarat penetapan bahwa seseorang telah berzina: 1)Empat orang saksi
laki-laki yang semuanya adil, 2)Pengakuan pelaku. Had zina dapat dijatuhkan
terhadap pelakunya, jika telah terpenuhi syarat-syarat berikut:
a) Pelakunya sudah baligh dan berakal.
b) Perbuatan zina dilakukan atas kemauan sendiri
(tidak dipaksa).
c) Pelakunya mengetahui bahwa zina adalah
perbuatan yang diancam dengan had.
d) Telah yakin secara syara’ bahwa yang
bersangkutan benar telah berzina seperti ditarangkan sebelumnya (pengakuan
pelaku).[6]
b. Qadzaf (menuduh orang berzina)
Qadzaf menurut bahasa berarti melempar, arti qadzaf secara khusus dalam
pengertian syara’ adalah melempar tuduhan berzina dengan tuduhan
terang-terangan. Menuduh berzina adalah
salah satu kejahatan yang hukumnya haram bahkan merupakan salah satu dosa
besar.[7]
Perbuatan menuduh zina diancam dengan saksi berupa jilid (dera), orang yang
merdeka hadnya 80 kali sedangkan seorang hamba sahaya 40 kali. Syarat-syarat
berlakunya had qadzaf:
a) Syarat pada pihak penuduh: penuduh orang yang
sudah baligh, berajal sehat, dan bukan orang tua tertuduh (ayah, ibu, nenek,
dan seterusnya keatas).
b) Syarat terhadap pihak tertuduh: tertuduh
beragama islam, sudah baligh, berakal sehat, merdeka, dan selalu memelihara
diri dari perbuatan zina.[8]
Had qadzaf bisa bisa gugur dengan sebab tiga
perkara:
1) Penuduh dapat menghadirkan saksis empat orang
dan menerangkan bahwa tertuduh betul berzina.
2) Penuduh dimaafkan oleh tertuduh.
3) Penuduh yang menuduh istrinya berzina
melakukan cerai Li’an.[9]
c. Minum-minuman keras
Minuman keras atau khamar adalah minuman yang memabukkan dan menghilangkan
kesadaran dalam semua jenisnya (cair atau padat). Selain dari minuman keras sesuatu
hal yang memabukkan dan dapat menghilangkan kesadaran mempunyai sanksi hukum
yang sama dengan minuman keras. Adapun hadnya didera sebanyak 40 kali (menurut
imam syafi’i dan ulama zhahiriyah), dan hukum had itu boleh dilakukan sampai 80
kali (menurut imam, Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal) atas
dasar ta,zir.[10]
Hukum had wajib atas peminum khamar lantaran dua hal yaitu sebab adanya
saksi dan atas pengakuan yang bersangkutan. Seseorang tidak di had dikarenakan
ia muntah-muntah atau mulutnya berbau khamar.[11]
d. Mencuri
Dalam pengertian umum mencuru berarti mengambil sesuatu barang secara sembunyi-sembunyi,
baik yang melakukan itu abak kecil atau orang dewasa, baik yang dicuri itu
sedikit atau banyak, dan abarang yang dicuri itu disimpan ditepat yang
wajaruntuk menyimpan atau tidak.
Syarat bahwa seseorang itu telah mencuri yaitu: kesaksian dari dua orang
saksi laki-laki yang adil dan merdeka, pengakuan dari pelaku pencurian sendiri,
dan sumpah dari orang yang mengadukan perkara.[12]
Adapun syarat ditetapkanny had bagi pencuri yaitu pencuri sudah baligh,
berakal, atas kemauan sendiri dan barang curian memiliki kadar hisab 3,34 gram
emas.
Jika sudah terpenuhi syarat-syarat diatas pemcuri dikenai had potong
tangan. Sebagian ulama diataranya Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa
had mencuri adalah:
1) Jika melakukan pencurian pertama kali akan dipotong
tangan kananya.
2) Jika melakukan kedua kali, dipotong kaki
kirinya.
3) Jika melakukan ketiga kali, dipotong tangan
kirinya.
4) Jika melakukan keempat kali, dipotong kaki
kanannya.
5) Jika melakukan kelima kali, dan seterusnya
hukumannya dalah ta’zir dan dipenjara sampai menunjukkan tanda taubat (jera).[13]
e. Penyamun/perampok, perompak
Penyamun/perampok/perompak adalah tiga istilah yang digunakan untuk
pengertian mengambil harta orang lain dengan cara kekerasan/ancaman senjata
atau kadang-kadang disertai dengan pembunuhan terhadap korbannya. Perbedaan
pengertian tersebut terletak pada tempatnya. Menyamun/merampok terjadi didarat
dan ditempat yang sepi sedangkan merompak terjadi dilaut.
Had penyamun, perampok dan perompak dijatuhkan sesuai jenis kegiatan yang
dilakukan, yaitu:
1) Jika mengambil harta dan membunuh korbannya,
hadnya dihukum mati kemudia disalib.
2) Jika membunuh korbannya tetapi tidak mengambil
hartanya, hadnya dihukum mati.
3) Jika mengambil harta tetapi tidak membunuh,
hadnya dipotong tangan dan kakinya dengan cara silang.
4) Jika tidak mengambil harta dan tidak membunuh,
misalnya tertangkap sebelum berbuat sesuatu terhadap korbannya, hadnya
dipenjarakan atau diasingkan.[14]
f. Bughah (pembangkang)
Bughah ialah kaum muslim yang tidak taat kepada imam muslimin (khalifah)
karena ada kekeliruan (keraguan) paham[15]
atau bisa diartikan orang yang menentang atau memberontak kepada pemimpin
pemerintahan islam yang sah.Apabila dalam negara islam terdapat kaum bughah maka
wajib diperangi jika mereka telah memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Mereka mempunyai kekuatan baik berupa pengikut
ataupun senjata.
2) Mereka mempunyai alasan mengapa mereka
menentang imam (pemimpin).
3) Mempunyai pengikut yang setuju dengan mereka.
4) Mereka mempunyai pimpinan yang ditaati.
Pembangkang (bughah) tidak dihukum kafir, tawanan kaum pembangkang tidak
boleh dibunuh, cukup ditahan saja hingga mereka kembali sadar, harta kekayaan
mereka yang terlanjur dirampas, tidak boleh dijadikan sebagai hartarampasan
perang. Apabila mereka sudah insyaf harus dikembalikan lagi. Mereka yang
tertawan dalam keadaan luka parah harus dirawat dan pada saan terjadi perang
jika mereka mundur tidak boleh dikejar.
g. Riddah
Riddah ialah keluar dari agama islam, baik pindah ke agama lain atau
menjadi tidak beragama. Terjadi karena tiga sebab yaitu perbuatan yang
mengkafirkan, perkataan yang mengkafirkan, dan iktikad(keyakinan).
Orang yang keluar dari agama islam (murtad) itu wajib disuruh taubat tiga
kali, tetapi kalau tidak mau bertobat maka ia harus dibunuh dan tidak boleh
dimandikan serta haram dishalatkan dan tidak boleh dikubur dipekuburan kaum
muslimin.[16]
h. Orang yang meninggalkan shalat
Oarang yang meninggalkan shalat fardu yang
lima ada dua macam:
1) Meninggalkan shalat tanpa meyakini
kewajibannya, maka hukumannya adalah seperti hukumannya orang murtad.
2) Meninggalkan shalat karena malas, maka dia
diminta bertaubat. Kalai ia sudah bertaubat dan mau shalat (maka ia tidak
dikenakan hukuman apapun). Tapi kalau tidak mau bertaubat maka dia harus
dibunuh (karena melaksanakan) had. Adapun hukumannya sdalah sebagai hukumannya
orang islam.[17]
C. TA’ZIR
a. Pengertian ta’zir
Ta’zir secara etimologis berarti menolak atau mencegah. Dalam dunia
pesantren, istilah ta’zir diartikan sebagai suatu pelajaran atau pendidikan
dalam bentuk hukuman tertentu terhadap santri yang karena suatu sebab, misalnya
kesiangan shalat subuh atau tidak ikut mengaji tanpa ada alas an yang benar.
Hukuman tersebut bertujuan mencegah yang bersangkutan menjadi jera.[18] Sebagian ulam mengartikan ta’zir sebagai
hukuman yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak Allah dan hak hamba yang
tidak ditentukan Al-Qur’an dan Hadis ta’zir berfungsi memberikan pengajaran
kepada yang terhukum dan sekaligus mencegahnya untuk tidak mengulangi perbuatan
serupa. Sebagian lain mengatakan sebagai sebuah hukuman terhadap perbuatan
maksiat yang tidak dihukum dengan hukuman had atau kafarat. [19]
b. Jarimah ta’zir
Jarimah ta’zir adalah jarimah yang sebagian terbesar jarimahnya dan seluruh
sanksinya ditentukan penguasa. Namun ada sebagian kecil jarimah ta’zir yang
ditentukan syara’ walupun dalam hal hukuman diserahkan kepada kebijaksanaan
ulul amri.
Bagi jarimah ta’zir tidak diperlukan asas legalitas secara khusus, seperti
pada jarimah hudud dan qishash diyat. Artinya setiap jarimah ta’zir hingga
sulit dihitung, melainkan juga sifat jarimah ta’zir itu sendiri yang labil dan
fluktuatif, bisa berkurang atau bisa bertambah sesuai keperluan. Oleh karena
itu, menentukan secara baku jenis-jenis jarimah ta’zir tidak efektif sebab
suatu saat akan berubah. Itulah sebabnya, azas legalitas jarimah ini sangat
longgar, tidak seperti jarimah-jarimah yang termasuk dalam kelompok
hudud(termasuk qishash diyat) yang asas legalitasnya sangat ketat, yaitu satu
hukuman untuk satu jarimah atau setidak-tidaknya ditentukan hukuman-hukumannya.
Dalam jarimah ta’zir, bisa saja satu asas legalitas untuk beberapa jarimah atau
untuk beberapa jarimah yang mempunyai kesamaan tidak diperlukan ketentuan
khusus. Cukup, apabila jarimah tersebut mempunyai sifat-sifat jarimah yang
ditentukan secara umum. Itulah yang dimaksud dengan sifat asas legalitas
jarimah ta’zir longgar atau elastics.[20]
c. Pembagian Ta’zir
Jarimah ta’zir yang ditentukan syara’ telah dianggap jarimah sejak
diturunkannya syari’at islam dan itu akan terus
dianggap jarimah sampai kapanpun, tanpa ada kemungkinan untuk tidak
dianggap sebagai jarimah. Bila dilihat dari sumbernya ada dua bentuk jarimah
ta’zir, yaitu ta’zir penguasa (ulul amri) dan jarimh ta’zir syara. Persamaan
dari kedua jenis jarimah ta’zir adalah sanksi hukum jarimah ta’zir penguasa
maupun jarimah ta’zir disebutkan oleh syara. Sedangkan perbedaannya adalah
ta’zir penguasa seperti telah dijelaskan bersifat temporer dan insidentil,
yaitu bila perlu dianggap sebagai jarimah, sedangkan jarimah ta’zir syara
bersifat abadi dan selamanya dianggap jarimah.[21]
d. Prinsip Penjatuhan Hukuman
Terutama yang berkaitan dengan ta’zir yang menjadi wewenang penuh ulul
amri, artinya baik bentuk maupun jenis hukumannya merupakan hak penguasa,
ditujukan untuk menghilangkan sifat-sifat mengganggu ketertiban atau
kepentingan umum, yang bermuara pada kemaslahatan umum. ketertiban umum atau
kepentingan umum sebagaimana kita ketahui sifatnya labil dan berubah sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan. Seandainya suatu saat “kepentingan” tersebut
sudah tidak penting lagi, atau sudah tidak maslahat lagi, peraturannya harus
diganti. Itu berarti suatu yang dianggap jarimah pada suatu waktu atau suatu
tempat, dianggap bukan jarimah pada waktu yang lain atau tempat yang lain,
kalau kriteria kemaslahatan atau kepentingannya sudah tidak tampak lagi. [22]
e. Tujuan
Penjatuhan Ta’zir
Hukuman ta’zir kadangkala dijatuhkan sebagai hukuman tambahan yang
menyertai hukuman pokok bagi jarimah hudud atau qishash diyat. Hukuman ta’zir
dilihat dari segi penjatuhannya terbagi dalam beberapa tujuan. Pertama hukuman
ta’zir sebagai hukuman tambahan atau pelengkap hukuman pokok. Hukuman
pengasingan selama satu tahun dalam kasus pezina ghair muhsan menurut mazhab
hanafi- merupakan contoh bentuk hukuman tambahan, yang mengiringi hukuman pokok
seratus kali jilid pada jarimah hudud.[23] Kedua, hukuman ta’zir sebagai hukuman
pengganti hukuman pokok. Seperti yang telah kita ketahui, hukuman pokok pada
setiap jarimah hanya dijatuhkan apabila semua bukti secara meyakinkan dan tanpa
adanmya keraguan sedikit pun mengarah pada perbuatan tersebut.
Contoh hukuman ta’zir sebagai
hukuman pengganti misalnya: berzina dan menuduh zina apabila meyakinkan dan tak
ada unsur keraguan, dalam jarimah yang berkaitan dengan pencurian dan
perampokan. Ketiga, hukuman ta’zir sebagai hukuman pokok bagi jarimah ta’zir
syara’.[24]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qishash adalah
istilah dalam Hukum Islam yang berarti pembalasan, mirip dengan istilah
"hutang nyawa dibayar nyawa". Dalam kasus pembunuhan hukum qisas memberikan
hak kepada keluarga korban untuk meminta hukuman mati kepada pembunuh. Menurut
pengertian syariat islam, qishash ialah pembalasan yang serupa atau setimpal
bagi orang yang melakukan pembunuhan, melukai, merusak anggota tubuh atau
menghilangkan fungsi yang dilakukan dengan sengaja.
Hudud adalah
bentuk jama’ dari kata hadd yang berarti mencegah. Disebut hudud karena hukuman
itu dapat mencegah terjadinya perbuatan yang mengakibatkan jatuhnya hukuman.
Kejahatan yang diancam dengan hukuman hudud/had adalah zina, qadzaf (menuduh
berzina), meminum minuman keras, mencuri, merampok dan bughah (memberontak),
riddah dan meninggalkan shalat.
Pelanggaran hak
Allah dan hak hamba adalah suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir,
pelaksanaan hukuman ta’zir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas
atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah ataupun perorangan,
hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.
B. Saran
Karena keterbatasan pengetahuan kami, sehingga makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu bagi teman-teman yang ingin lebih memahami syariat
Islam, khususnya tentang masalah qishash, hudud dan ta’zir kami sarankan untuk
bertanya langsung pada para ulama atau mencarinya dari sumber-sumber lain
seperti buku atau kitab-kitab fiqih Islam, ataupun tambahan dari bapak Dosen
juga teman-teman apabila dari makalah kami ad hal yang keliru mohon untuk
diperbaiki.
DAFTAR PUSTAKA
Sjamsuddin, Anas Tohir. 1982. Himpunan
Hukum Islam. Surabaya: Al-Ikhlas
Djamali Abdul. 1989. Hukum Islam. Bandung:
cv Mandar Maju
Team Guru PAI MA. 2014. Fiqih. Surabaya:
Akik Pustaka
Rasjid, Sulaiman. 2007. Fiqh Islam. Bandung:
Sinar Baru Algesindo
Hakim Rahmat, 1997. Hukum Pidana Islam. Bandung:
Cv Pustaka Setia
Hadna Musthofa, 2011. Ayo Mengkaji Fikih. Ciracas:
Erlangga
[1] Musthofa Hadna, Ayo
Mengkaji Fikih. (Ciracas: Erlangga, 2011), h.6
[2]Ibid. h.9
[3] Rahmat Hakim, hukum pidana islam (fiqh jinayah),( bandung: Cv
Pustaka Setia, 1997), hlm.126
[4] Team guru PAI MA, Fiqih
(Surabaya: Akik Pusaka, 2014), h.25
[5] Anas Thohir Sjamsuddin, Kitab
Taqrib Himpunan Hukum Islam (Surabaya: Al-Ikhlas: 1982), h. 156
[6] opCit. Hlm. 25
[7] opCit. hlm. 27
[8] Anas Thohir Sjamsuddin,
Kitab Taqrib Himpunan Hukum Islam (Surabaya: Al-Ikhlas: 1982), h.157
[9] Abdul Djamali, Hukum
Islam (Bandung: cv. Mandar Maju: 1989), h.193
[10] Ibid. h.193
[11] opCit. h.158
[12] Team guru PAI MA, Fiqih (Surabaya: Akik Pusaka, 2014), h.36-37
[13] Ibid. h.38
[14] Ibid. h.39-40
[15] Sulaiman Rasjid. Fiqh
Islam (Bandung: Sinar Baru Algesind,
2007) h. 444
[16] Ibid. h.445
[17] OpCit. h. 162
[18] OpCit. hlm 140
[19] Ibid.hlm 141
[20] Ibid.hlm 142
[21] Rahmat Hakim, loc.Cit.
[22] Rahmat Hakim, loc.Cit.
[23] Ibid hlm 144
[24] Ibid hlm 145
No comments:
Post a Comment