Wednesday, February 23, 2022

Filsafat


 

I.                   Pendahuluan

A.    Latar belakang

Dalam sejarah pemikiran islam, filsafat digunakan dalam berbagai kepentingan. Para teolog rasional (mutakallimun) menggunakan filsafat untuk membela imam khsusnya dari para cendikiawan Yahudi dan Kristiani, yang saat itu sudah maju secara intelektual. Sedangkan para Filosop mencoba membuktikan bahwa kesimpulan-kesimpulan filsafat yang di ambil dari gagasan filsafat yunani tidak bertentangan dengan Iman.

Para filosof muslim banyak mengambil pemikiran dari Aristoteles, Plato, maupun Plotinus, sehingga banyak teori-teori Yunani dari filosof muslim. Pengaruh filsafat Yunani inilah yang menjadi pangkal kontroversi sekitar masalah filsafat dalam islam.

B.     Rumusan Masalah

1.      bagaimana penjelesan terminologi filsafat Islam ?

2.      bagaimana  penjelasan epistemologi filsafat islam ?

3.      siapa tokoh-tokoh filsafat islam dan pemikirannya ?

C.     Tujuan masalah

1.      Mengetahui penjelasan terminoligi filsafat islam

2.      Mengetahui penjelasan epistemologi filsafat islam

3.      Mengetahui tokoh-tokoh filsafat islam dan pemikirannya

 

 

 


 

II.                Pembahasan

A.    Terminologi Filsafat Islam

Filsafat islam merupakan gabungan dari dua kata yaitu: filsafat dan islam. Secara bahasa filsafat dari bahasa yunani yaitu kata philein atau philos dan sophia. Kata philein atau philos berarti cinta, tapi dalam maknanya yang luas yaitu berupa hasrat ingin tahu seseorang terhadap kebijaksanaan ilmu pengetahuan atau kebenaran. Sedangkan kata shopia berarti kebijaksanaan. Sehingga secara sederhana filsafat adalah mencintai kebijaksanaan.

Adapun definisinya secara khusus seperti apa yang dikemukakan penulis islam sebagai berikut:

1.      Ibrahim Madkur, filsafat islam adalah pemikiran yang lahir dalam dunia islam untuk menjawab tantangan zaman yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat.

2.      Ahmad Fu’ad Al-Ahwaniy, filsafat islam adalah pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran islam.

3.      Muhammad ‘Athif Al-‘Iraqy, filafat islam secara umum didalamnya tercakup ilmu kalam, ilmu usul fiqih, ilmu tasawuf, dan ilmu pengetahuan lainnya yang diciptakan oleh intelektual islam. Pengertian secara khusus, pokok-pokok atau dasar-dasar pemikiran filososfis yang dikemukakan para filosof muslim.[1]

Secara sederhana dapat diartikan filsafat adalah hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal. Sedangkan filsafat islam itu sendiri adalah hasil pemikiran filosof tentang ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis.[2]

B.     Epistemologi Filsafat Islam

Epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme  dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan  logos  adalah teori, uraian, atau ulasan. Epistemologi dapat di artikan dengan cabang ilmu filsafat yang memebahas masalah-masalah filosofikal yang melingkupi teori ilmu pengetahuan.

            Apakah Epistemologi dibenarkan oleh syariat atau dilarang ? ada dua bentuk permasalahan ini. Pertama, apakah epistemologi itu mungkin ataukah tidak mungkin ? kedua, apakah dibolehkan atau dilarang ?

            Dalil apakah yang membuktikan bahwa Al-Qur’an mendukung kemungkinan epistemologi ? yaitu ketika mengajak kepada manusia untuk menggali Epistemologi. Dengan demikian Al-Qur’an mengakui adanya kemungkinan untuk memperoleh epistemologi. Al-Qur’an mengajak, memerhatikan, melihat dan merenungkan tentang ayat-ayat kepada manusia, misalnya ungkapan “ katakanlah, perhatikanlah apa yang ada dilangit dan dibumi” (Q.S. Yunus ; 101 ).

            Al-Qur’an menegaskan kepada manusia untuk memahami dan mengetahui apa yang ada dilangit dan di bumi, dengan menyatakan “ Wahai manusia kenalilah dirimi sendiri , kenalilah alammu, kenalilah Tuhanmu, kenalilah masamu, dan kenalilah masyarakat serta sejarahmu. Bahkan dengan ayat, “wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu ” ( Q.S. Al-Maidah; 105 ). Berbagai mufasir yang di antaranya adalah Allamah Thabathaba’i menjelaskan ayat itu dengan maksud “kenalilah dirimu sendiri.”

            Setelah manusia bisa melihat diri merekan sendiri, kemudia Allah berfirman “bukankah aku ini adalah tuhanmu ?” mereka menjawab, “Ya.”. Disini Al-Qur’an mengatakan bahwa Allah tidak menunjukkan Dzatnya kepada manusia, lalu mengatakan “bukankah aku ini adalah tuhanmmu ?” akan tetapi, Al-Qur’an mengatakan bahwa manusia di perlihatkan kepada dirinya sendiri, kemudian dia berfirman “bukankah aku ini adalah tuhanmu ? ungkapan yang sangat popoler di islam adalah “ barang siapa yang telah mengenal dirinya sendiri, dia telah mengenal tuhannya.” Ali bin Abi Thalib dan Rasulullah telah menyampaikannya, akan tetapi tidak ada satu penjelasan yang seindah Al-Qur’an.[3]

            Ketika manusia telah mengenal dirinya sendiri, maka seketika Allah bertanya “ Apakah sekarang engkau dapat melihat-Ku dengan baik ?“ Manusia menjawab “ Ya, sekarang kami dapat melihat-Mu dengan baik”. Di sini Al-Qur’an tidak mengatakan seperti ungkapan yang sifatnya berurutan , pertama mengenal diri sendiri kemudian mengenal Tuhan.

            Al-Qur’an hendak menyatakan bahwa begitu dekatnya antara dua pengenalan itu, sehingga apabila engkau melihat yang ini, engkau pun akan melihat yang itu. Semua penjelasan selain Al-Qur’an meletakkan dua pengenalan itu secara berurutan, sedangkan Al-Qur’an  menjelaskannya dengan menggunakan kalimat bahwa manusia cukup mengenal diri, dia pasti akan mengenal tuhan.

            Katakanlah “ Perhatikalah apa yang ada di langit dan dibumi” ( Q.S. Yunus : 101 ). Perhatikanlah yang ada di seluruh alam ini ! dengan demikian, Al-Qur’an mengajak manusia menggali sumber-sumber pengetahuan. Artinya , kemungkinan untuk menemui epistemologi adalah pasti.[4]

C.    Tokoh-tokoh Filsafat Islam dan pemikirannya

Beberapa tokoh filsafat islam dan pemikirannya adalah : Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Miskawaih, Ibnu Sina dan Ibnu Thufail.

1.      Al-Kindi

Nama lengkapnya adalah Abu Jusuf Jacub ibnu Ishaq Al Sabbah, Ibnu Imran, Ibnu Al-Asha’ath. Ibnu Kaya, Al-Kindi. Dia adalah ahli filsafat islam pertama. Ayahnya, Ishak Al-Sabbah menjadi gubernur di Kufa (Irak) pada aman Khalifah Al-Mahdi da Harun Ar-Rasyid.

 Di dalam buku “ islamic Philosofy” Prof. Ahmad Fuad Al-Ehwany bahwa filsafat islam yang di ajarkan Al-Kindi  ada 3 dasar :

1.      Logika

2.      Metaphysika

3.      Psychologika atau Epistemologi

Al Kindi telah memberikan pengertian filsafat menurutnya filsafat adalah “filsafat teorinya tentang pengetahuan adalah untuk mendapatkan kebenaran.

Kebenaran pertama menurut Al Kindi dalam filsafatnya adalah “ Al-Haq “ dengan bahasa latin di sebut Verum.

Dalam buku filsafat El-Ula Al Kindi menerangkan tentang jiwa dan akal, adanya perasaan dan adanya akal. Perasaaan masuk pada jiwa sedangkan akal masuk adalah pikiran. Al-Kindi berkata “ segala sesuatu yang diketahui oleh perasaan atau akal adalah terdapat dalam diri sendiri, dalam pikiran kita oleh ujud biasa, sedangkan dalam percakapan atau tulisan oleh ujud yang tiada terduga yang mempunyai gerak dalam dirinya sendiri”.[5]

2.      Al-Farabi

Abu Nasr al-Farabi dilahirkan pada tahun 258 H/870 M. Sebagai pembanguna sistem filsafat, dia telah membaktikan diri utuk berpikir dan merenung, menjauh dari politik, gangguan dan kekisruhan masyarakat.

Karya-karya al-Farabi dibagi menjadi dua, yang pertama mengenai logika. Karya-karya tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari aristoteles, baik yang berbentuk komentar ataupun ulasan yang panjang. Yang kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika, metafisika, etika dan politik.

Al-Farabi meninggal pada tahun 339 H/950 M.

3.      Miskawaih

Ahmad ibn muhammad ibn Ya’qub, yang nama keluarganya Miskawaih, disebut pula abu Ali al-Khazin.

Bagian terpenting kegiatan filosofis Miskawaih ditujukan kepada Etika. Pada dasarnya Miskawaih adalah seorang ahli sejarah dan moralitas. Etika yang disusunnya bersifat genetik, agamis dan praktis. Sedangkan mengenai sejarahnya bersifat filosofis, ilmiah dan kritis.

Miskawaih meninggal 9 Safar 421/16 Februari 1030.[6]

 

 

4.      Ibnu Sina

Nama lengkap ibnu sina adalah Abu Ali al-Husain ibnu Abd Allah ibn Hasan ibnu Ali ibn Sina. Ibnu sina dilahirkan di Afsyana dekat Bukhara tahun 980 M .

Pemikiran Ibnu sina di bidang Filsafat yang pertama adalah antara agama dan Filsafat, kedua  tentang ketuhanan, ketiga Emanasi dan yang keempat yaitu tentang Jiwa.

Ibnu sina meninggal dunia pada tahun 1037 M dalam usia 58 Tahun, beliau di makamkan di Hamadzan.[7]

5.      Ibnu Thufail

Ibnu Thufail bernama lengkap dengan Abu Bakar Muhammad Ibnu Abd Al-Malik Ibnu Muhamad ibnu Muhammad Ibnu Thufail. Dia dilahirkan di spanyol pada Tahun 506 H/1110 beliau termasuk keluarga suku Arab.

Ibnu Thufail memiliki disiplin ilmu dalam berbagai bidang . selain sebagai filosof, beliau juga ahli di bidang kedokteran, matematika, Astronomi dan penyair yang terkenal.

Pemikiran-pemikiran Ibnu Thufail akan filsafat meliputi Metafisika, fisika, jiwa , epistemologi dan Rekonsiliasi (tawfiq) antara filsafat da Agama.

 [8]

 

 

 

 

 

 

 

III.             Penutup

A.    Kesimpulan

Filsafat islam merupakan gabungan dari dua kata yaitu: filsafat dan islam. Secara bahasa filsafat dari bahasa yunani yaitu kata philein atau philos dan sophia. Kata philein atau philos berarti cinta, tapi dalam maknanya yang luas yaitu berupa hasrat ingin tahu seseorang terhadap kebijaksanaan ilmu pengetahuan atau kebenaran. Sedangkan kata shopia berarti kebijaksanaan. Sehingga secara sederhana filsafat adalah mencintai kebijaksanaan.

Epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme  dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan  logos  adalah teori, uraian, atau ulasan. Epistemologi dapat di artikan dengan cabang ilmu filsafat yang memebahas masalah-masalah filosofikal yang melingkupi teori ilmu pengetahuan.

Al-Qur’an mengakui adanya kemungkinan untuk memperoleh epistemologi. Al-Qur’an mengajak, memerhatikan, melihat dan merenungkan tentang ayat-ayat kepada manusia, misalnya ungkapan “ katakanlah, perhatikanlah apa yang ada dilangit dan dibumi” (Q.S. Yunus ; 101 ).

Tokoh-tokoh filsafat islam di antaranya adalah Al Kindi, Al Farabi, Miskawaih , Ibnu sina dan Ibnu Thufail.

Pemikiran Al kindi meliputi Logika, Metaphysika, Psychologika atau Epistemologi. Al Farabi membagi pemikirannya dengan dua macam yaitu Logika dan berbagai macam cabang pengetahuan filsafat. Miskawaih memfokuskan pemikirannya kepada Etika. Pemikiran Ibnu sina di bidang Filsafat yang pertama adalah antara agama dan Filsafat, kedua  tentang ketuhanan, ketiga Emanasi dan yang keempat yaitu tentang Jiwa.

Pemikiran-pemikiran Ibnu Thufail akan filsafat meliputi Metafisika, fisika, jiwa , epistemologi dan Rekonsiliasi (tawfiq) antara filsafat dan Agama.

B.     Saran

Dari adanya uraian di atas disana sini banyak kekurangan dari benarnya. Maka kami selaku penyusun makalah ini berharap kritik dan sarannya yang sifatnya membangun.


DAFTAR PUSTAKA

ü Dedi Supriyadi, pengantar Filsafat Islam (lanjutan) teori dan praktek, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, cetakan pertama, 2010

ü Rustam E Tamburaka , pengantar ilmu sejarah, teori filsafat sejarah, sejarah filsafat dan iptek, Jakarta: PT RINEKA CIPTA, cetakan pertama, 1999

ü M Syarif, para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, 1963

ü Sirajuddin Zar, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004

ü Nasution Hasyimsyah, filsafat islam, (jakarta: Gaya Media Pratama, 1999)

 

 

 

 

                       

 

 

             



[1] Sirajuddin Zar, filsafat islam, ( jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 15-16

[2] Hasyimsyah Nasution, filsafat islam, (jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 2

[3] Dedi Supriyadi, pengantar Filsafat Islam (lanjutan) teori dan praktek, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, cetakan pertama, 2010, hal 97-105

[4] Ibid., hal 105

[5] Rustam E Tamburaka , pengantar ilmu sejarah, teori filsafat sejarah, sejarah filsafat dan iptek, Jakarta: PT RINEKA CIPTA, cetakan pertama, 1999, hal 198-197

[6] M Syarif, para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, 1963, hal 55-86

[7]  Sirajuddin Zar, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 91-104

 

[8] Ibid., hal 205-219

Qishas

 

BAB I

PENDAHULUAN

Islam sebagai agama yang mengatur segala aspek bagi kehidupan manusia pastinya memiliki dasar yang paling penting yaitu keadilan. Dalam hal ini, segala jenis kejahatan memang diharapkan pupus di dalam dunia ini. Akan tetapi terbukti dari awal kehidupan makhluk bernama manusia wujud kejahatan tetap ada dan tidak pernah luput di atas bumi. Kejahatan tersebut berupa pembunuhan, penderaan, dan lain sebagainya.

Qishash, hudud dan ta’zir adalah cabang dari ilmu fiqih, yang merupakan syariat Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits rasulullah SAW. Qishash, hudud dan ta’zir merupakan pembahasan fiqih dalam ruang lingkup fiqih jinayat (hukuman). Hal ini sangat penting untuk dibahas dan dibicarakan, karena membahas mengenai hukuman-hukuman bagi orang yang melanggar aturan atau perintah dari Allah SWT. Tanpa adanya sebuah sanksi hukuman makan sulit untuk menegakkan suatu hukum ataupun aturan yang dibuat untuk ketertiban dan kedamaian ummat manusia khususnya dalam agama islam.

Hukuman qishash dan hudud telah ditentukan dan ditetapkan bentuk serta polanya oleh syara’, baik bentuk hukumannya maupun jenis dan kategori kejahatannya. Sehingga seorang hakim tidak memiliki wewenang dan ototritas untuk menentukannya sesuai situasi dan kondisi pelaku kejahatan atau situasi dan kondisi kejahtan yang dilakukan. Adapun hukuman ta’zir, maka penentuan ukurannya diserahkan kepada penilaian dan kebijakan hakim untuk memilih bentuk hukuman dan sanksi yang pas dan sesuai dengan situasi dan kondisi terdakwa, kepribadiannya, catatan kriminalitasnya, tingkat efektifitas pengaruh suatu hukuman terhadap dirinya, tingkat kondisi kejahatan dan seberapa jauh efek kejahatan itu terhadap masyarakat.

Untuk itu segala sanksi baik yang berupa fisik ataupun hal lain wajib dilaksakan apabila telah terjadi pelanggaran. Hal ini diharapkan agar dapat membawa efek jera bagi pelaku dan membuat mereka bertaubat. Qishash, hudud, dan ta’zir hanya berlaku dinegara asia barat saja seperti Arab Saudi dan sekitarnya, namun ada juga segelintir kota yang ada disuatu negara menerapkan hal yang sama. Di negara tersebut hukum-hukum islam ini berjalan dan berkembang dengan pesat, dan dilakukan dengan baik oleh pemerintahnya.

Sebenarnya kalau hukum yang dibuat manusia belum sepenuhnya bisa mengikat, dan hal tersebut bisa direkayasa dan sekaligus bisa dilanggar, karena pada intinya hanya hukum islamlah yang sangat cocok bagi kehidupan ummat manusia di dunia. Hal ini terbukti dengan adanya hukum islam banyak negara yang merasa cocok dengan berlakunya hukum islam. Tapi ada satu hal yang masih menjadi satu pertanyaan apakah benar hukum islam itu sulir diterapkan dalam suatu tatanan kemasyarkatan atau itu hanya sebuah alasan dari segelintir orang yang tidak suka terhadap aturan tersebut.

Hukum islam tentang orang yang melakukan kejahatan sesama manusia tidak berlaku di Indonesia atau negara islam lainnya kecuali di negara Arab dan sekitarnya. Oleh karena itu, ketika islam turun, ia memiliki hukum dan hukuman bagi pelaku kejahatan-kejahatan. Adapun tujuan hukum islam yang disebut Dharurriyat Al-Khams yaitu lima tujuan hukum utama hukum islam yang telah disepakati bukan hanya oleh ulama islam melainkan juga seluruh agamawan. Kelima tujuan utama tersebut adalah memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan atau kehormatan, dan memelihara harta.

Berbicara mengenai fiqih, maka kita akan menemukan banyak sekali perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam mengungkapkan hasil penelitiannya yang secara fundamental dapat mengubah cara pandang kita terhadap islam. Sehingga sangat penting bagi kita untuk menambah wawasan pengatahuan dalam hal tersebut dengan cara mencari data-data yang akurat (valid) termasuk dengan menyusun makalah ini. Kami menjelaskan tentang hukum islam yaitu qishash, hudud, dan ta’zir kepada pembaca. Karena sebagai ummat islam kita harus mengetahui hukum islam untuk orang yang melakukan kejahatan atau pelanggaran yang meyakiti, melukai atau merugikan sesama manusia, sehingga kita mendapat hikmah dari hal tersebut dan khususnya dapat membawa efek jera bagi si pelaku kejahatan dengan tegasnya hukum islam dalam mengatuh kehidupan ummat manusia.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    QISHASH

1.      Pengertian  Qishash

Menurut bahasa, qishash (قصاص ) berasal dari kata ( قصص ) yang berarti “ memotong “ atau dari kata ( اقتص  ) yang artinya “ mengikuti “, yakni balasan yang mengikuti perbuatan jahat seseorang. Menurut pengertian syariat islam, qishash ialah pembalasan yang serupa atau setimpal bagi orang yang melakukan pembunuhan, melukai, merusak anggota tubuh atau menghilangkan fungsi yang dilakukan dengan sengaja

Dari pengertian tersebut, maka qishash dapat di kelompokan menadi 2 macam, yaitu

a)      Qishash Jiwa, yakni hukuman bunuh bagi pelaku tindak pidana pembunuhan.

b)      Qishash anggota badan, yakni hukuman qishash bagi pelaku tindak pidana melukai anggota tubuh, merusak anggota tubuh, atau menghilangkan fungsinya.[1]

 

2.      Syarat-syarat qishash Pidana pembunuhan

a)      Syarat bagi pelaku pembunuhan

·         orang yang sudah baliq dan berakal sehat ( mukalaf ).

·         pembunuh bukan orang tua dari yang dibunuh.

b)      Syarat bagi yang dibunuh

·         orang yang dibunuh sama derajatnya.

·         orang yang dibunuh itu adalah orang yang berhak dilindungi jiwanya

c)      Jenis pelakunya

·         pembunuh dilakukan secara sengaja dengan pembuktian yang meyakinkan. Pembunuhan yang dilakukan menyerupai sengaja atau tidak sengaja, tidak dikenai hukum qishash. Begitu pila dilakukan dibawah tekanan, paksaan, atau ancaman orang lain.

·         Pelaksanaan qishash yang dilakukan dengan jenis barang yang digunakan oleh yang membunuh atau yang melukainya.

3.      Qishash tindak pidana kejahatan anggota tubuh

Setiap keahatan yang dilakukan seseorang terhadap prang lain akan dikenakan sanksi qishash, baik memotong, melukai atau pun menghilangkan fungsi anggota tubuh.

Bentuk qishash dalam tindak pidana kejahatan anggota tubuh hukumannya disesuaikan dengan keahatan yang dilakukannya sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Ma’idah ayat 45. Kejahatan terhadap mmata dibalas mata, hidung dengan balasan hidug, telinga dengan balasan telinga dan jenis melukai dibalas dengan balasan melukai. Dalam hal ini ulama fiqih berpendapat bahwa hukuman qishash terhada[ kejahatan memotong atau menghilangkan anggota tubuh tersebut dilaksanakan hanya jika memungkinkan atau memenuhi persyaratan. Akan tetapi, apabila tidak memungkinkan atau tidak memenuhi persyaratan, hukumannya adalah hukuman pengganti berupa diyat dan ta’zir.[2]

4.      Pembunuhan oleh Massa

Pembunuhan yang dilakukan beramai-ramai oleh orang banyak, maka semua yang terlibat terkena hukuman qishash, meskipun diantara mereka ada yang keterlibatannya tidak langsung. Misalnya, hanya sebagai otak pelakunya.

Dalam hal ini Ibnu Abbas pernah berpendapat : “ Jika sekelompok orang membunuh seseorang, mereka mereka semua harus dikenai hukuman bunuh, dengan cara yang sama, meskipun jumlah mereka sampai 100 orang “. Begitu pula sahabat Umar bin Khattab, pernah menghukum lima atau enam orang yang membunuh seorang laki-laki secara zalim.

Hukuman pokok pada jariyah pembunuhan sengaja adalah qishash yaitu dibunuh kembali. Sebagai hukum pokok, qishash mempunyai hukuman pengganti, yaitu apabila keluarga korban menghapuskan hukuman pokok ini qishash pun tidak dapat diatuhkan dan digantikan dengan hukuman diyat. Diyat pun kalau seandainya di maafkan dapat dihapuskan dan sebagai gantinya, hakim menjatuhkan hukuman ta’zir. Jadi qishash hukuman pokok mempunyai dua hukuman pokok pengganti yaitu diyat dan ta’zir.

Adapun penganiayaan sengaja adalah suatu bentuk perbuatan yang dilakukan secara sengaja dengan sasaran anggota badan atau hilangnya fungsi anggota badan.

Hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang terbaik sebab mencerminkan keadilan. Si pelaku mendapat imbalann yang sama (setimpal) dengan perbuatan yang dia dilakukan terhadap orang lain. Hukuman ini akan menjadikan pelaku berpikir dua kali untuk melakukan yang yang serupa mana kala dia mengingat akibat yag sama yang akan di timpakan kepadanya.

Dalam hal penganiayaan sengaja yang dimaafkan korban dan diganti dengan diyat dengan mengutip Ahmad Hanafi – Rasulullah menentukan sanksinya, apabila melukai kepala atau muka yang sampai menampakan tulang, diyatnya adalah lima ekor unta. Bagi pelukaan yang mematahkan tulang, dikenakan hukuman sepuluh ekor unta. Pelukaan yang mengenai lapisan otak dan juga masuk perut, hukumannya adalah sepertiga diyat atau kurang lebih tiga puluh tiga ekor sebab diyat itu seratus ekor unt. Jadi, diyat pada penganiayaan sengaja tersebut bukan hukumn pokok, anamun hukuman pengganti dari qishash yang dihapuskan atau karena suati sebab tidak dapat di jatuhkan .[3]

B.     HAD/HUDUD

1.      Pengertian Hudud

Hudud adalah bentuk jamak dari kata had yang berarti pembatas, pembatas antara dua hal.

اَلْحَدُّ لُغَةَ : اَلْفَصْلُ بَيْنَ الشَيْئَيْنِ لِئَلاًّ يَخْتَلِطَ اَحَدُ هُمَا بِااْلآَ خَرِ اَوْ لِئَلاًّ يَتَعَدًّى اَحَدُ هُمَا عَلَى الْاخَرِ

Artinya: “al had menurut bahasa adalah pembatas antara dua hal agar salah satunya tidak bercampur dengan yang lain atau agar salah satunya tidak melanggar yang lain.”

Dalam istilah syara’ had mempunyai arti umum dan khusus :

            Pengertian had secara umum adalah hukum-hukum syara’ yang disyariatkan Allah bagi hamba-Nya yang berupa ketetapan hukum halal atau halal. Hukum-hukum tersebut dinamakan hudud karena membedakan antara jenis perbuatan yang boleh dikerjakan dan tidakboleh dikerjakan, anatara yang halal dan yang haram.

            Adapun arti hudud secara khusus, yaitu hukuman-hukuman tertentu yang ditetapkan oleh syara’ sebagai sanksi hukum terhadap perbuatan kejahatan selain pembunuhan dan peganiayaaan, seperti huuman terhadap orang yang berzina, mencuru qadzaf, dan sebagainya. Kejahatan yang diancam dengan hukuman hudud/had adalah zina, qadzaf (menuduh berzina), meminum minuman keras, mencuri, merampok dan bughah (memberontak), riddah dan meninggalkan shalat.[4]

a.       Zina

Zina adalah melakukan hubungan intim antara laki-laki dan perempuan di luar nikah. Orang yang melakukan zina ada dua macam yaitu :

a.       Muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh seseorang yang sudah pernah menikah dan hadnya dirajam.

b.      Ghairu muhsan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang belum menikah, hadnya didera 100 kali dan diasingkan selama satu tahun ketempat yang sejauh jarak mengqashar shalat atau kedaerah yang lain sampai bertaubat.

Namun, jika pelaku zina itu budak, baik laki-laki maupun perempuan baik yang telah menikah atau belum, jika berzina keduanya didera 50 kali dan diasingkan selama setengah tahun.[5]

Syarat penetapan bahwa seseorang telah berzina: 1)Empat orang saksi laki-laki yang semuanya adil, 2)Pengakuan pelaku. Had zina dapat dijatuhkan terhadap pelakunya, jika telah terpenuhi syarat-syarat berikut:

a)      Pelakunya sudah baligh dan berakal.

b)      Perbuatan zina dilakukan atas kemauan sendiri (tidak dipaksa).

c)      Pelakunya mengetahui bahwa zina adalah perbuatan yang diancam dengan had.

d)     Telah yakin secara syara’ bahwa yang bersangkutan benar telah berzina seperti ditarangkan sebelumnya (pengakuan pelaku).[6]

b.      Qadzaf (menuduh orang berzina)

Qadzaf menurut bahasa berarti melempar, arti qadzaf secara khusus dalam pengertian syara’ adalah melempar tuduhan berzina dengan tuduhan terang-terangan.  Menuduh berzina adalah salah satu kejahatan yang hukumnya haram bahkan merupakan salah satu dosa besar.[7] Perbuatan menuduh zina diancam dengan saksi berupa jilid (dera), orang yang merdeka hadnya 80 kali sedangkan seorang hamba sahaya 40 kali. Syarat-syarat berlakunya had qadzaf:

a)      Syarat pada pihak penuduh: penuduh orang yang sudah baligh, berajal sehat, dan bukan orang tua tertuduh (ayah, ibu, nenek, dan seterusnya keatas).

b)      Syarat terhadap pihak tertuduh: tertuduh beragama islam, sudah baligh, berakal sehat, merdeka, dan selalu memelihara diri dari perbuatan zina.[8]

Had qadzaf bisa bisa gugur dengan sebab tiga perkara:

1)      Penuduh dapat menghadirkan saksis empat orang dan menerangkan bahwa tertuduh betul berzina.

2)      Penuduh dimaafkan oleh tertuduh.

3)      Penuduh yang menuduh istrinya berzina melakukan cerai Li’an.[9]

c.       Minum-minuman keras

Minuman keras atau khamar adalah minuman yang memabukkan dan menghilangkan kesadaran dalam semua jenisnya (cair atau padat). Selain dari minuman keras sesuatu hal yang memabukkan dan dapat menghilangkan kesadaran mempunyai sanksi hukum yang sama dengan minuman keras. Adapun hadnya didera sebanyak 40 kali (menurut imam syafi’i dan ulama zhahiriyah), dan hukum had itu boleh dilakukan sampai 80 kali (menurut imam, Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal) atas dasar ta,zir.[10]

Hukum had wajib atas peminum khamar lantaran dua hal yaitu sebab adanya saksi dan atas pengakuan yang bersangkutan. Seseorang tidak di had dikarenakan ia muntah-muntah atau mulutnya berbau khamar.[11]

d.      Mencuri

Dalam pengertian umum mencuru berarti mengambil sesuatu barang secara sembunyi-sembunyi, baik yang melakukan itu abak kecil atau orang dewasa, baik yang dicuri itu sedikit atau banyak, dan abarang yang dicuri itu disimpan ditepat yang wajaruntuk menyimpan atau tidak.

Syarat bahwa seseorang itu telah mencuri yaitu: kesaksian dari dua orang saksi laki-laki yang adil dan merdeka, pengakuan dari pelaku pencurian sendiri, dan sumpah dari orang yang mengadukan perkara.[12] Adapun syarat ditetapkanny had bagi pencuri yaitu pencuri sudah baligh, berakal, atas kemauan sendiri dan barang curian memiliki kadar hisab 3,34 gram emas.

Jika sudah terpenuhi syarat-syarat diatas pemcuri dikenai had potong tangan. Sebagian ulama diataranya Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa had mencuri adalah:

1)      Jika melakukan pencurian pertama kali akan dipotong tangan kananya.

2)      Jika melakukan kedua kali, dipotong kaki kirinya.

3)      Jika melakukan ketiga kali, dipotong tangan kirinya.

4)      Jika melakukan keempat kali, dipotong kaki kanannya.

5)      Jika melakukan kelima kali, dan seterusnya hukumannya dalah ta’zir dan dipenjara sampai menunjukkan tanda taubat (jera).[13]

 

e.       Penyamun/perampok, perompak

Penyamun/perampok/perompak adalah tiga istilah yang digunakan untuk pengertian mengambil harta orang lain dengan cara kekerasan/ancaman senjata atau kadang-kadang disertai dengan pembunuhan terhadap korbannya. Perbedaan pengertian tersebut terletak pada tempatnya. Menyamun/merampok terjadi didarat dan ditempat yang sepi sedangkan merompak terjadi dilaut.

Had penyamun, perampok dan perompak dijatuhkan sesuai jenis kegiatan yang dilakukan, yaitu:

1)      Jika mengambil harta dan membunuh korbannya, hadnya dihukum mati kemudia disalib.

2)      Jika membunuh korbannya tetapi tidak mengambil hartanya, hadnya dihukum mati.

3)      Jika mengambil harta tetapi tidak membunuh, hadnya dipotong tangan dan kakinya dengan cara silang.

4)      Jika tidak mengambil harta dan tidak membunuh, misalnya tertangkap sebelum berbuat sesuatu terhadap korbannya, hadnya dipenjarakan atau diasingkan.[14]

f.       Bughah (pembangkang)

Bughah ialah kaum muslim yang tidak taat kepada imam muslimin (khalifah) karena ada kekeliruan (keraguan) paham[15] atau bisa diartikan orang yang menentang atau memberontak kepada pemimpin pemerintahan islam yang sah.Apabila dalam negara islam terdapat kaum bughah maka wajib diperangi jika mereka telah memenuhi syarat sebagai berikut:

1)      Mereka mempunyai kekuatan baik berupa pengikut ataupun senjata.

2)      Mereka mempunyai alasan mengapa mereka menentang imam (pemimpin).

3)      Mempunyai pengikut yang setuju dengan mereka.

4)      Mereka mempunyai pimpinan yang ditaati.

Pembangkang (bughah) tidak dihukum kafir, tawanan kaum pembangkang tidak boleh dibunuh, cukup ditahan saja hingga mereka kembali sadar, harta kekayaan mereka yang terlanjur dirampas, tidak boleh dijadikan sebagai hartarampasan perang. Apabila mereka sudah insyaf harus dikembalikan lagi. Mereka yang tertawan dalam keadaan luka parah harus dirawat dan pada saan terjadi perang jika mereka mundur tidak boleh dikejar.

g.      Riddah

Riddah ialah keluar dari agama islam, baik pindah ke agama lain atau menjadi tidak beragama. Terjadi karena tiga sebab yaitu perbuatan yang mengkafirkan, perkataan yang mengkafirkan, dan iktikad(keyakinan).

Orang yang keluar dari agama islam (murtad) itu wajib disuruh taubat tiga kali, tetapi kalau tidak mau bertobat maka ia harus dibunuh dan tidak boleh dimandikan serta haram dishalatkan dan tidak boleh dikubur dipekuburan kaum muslimin.[16]

h.      Orang yang meninggalkan shalat

Oarang yang meninggalkan shalat fardu yang lima ada dua macam:

1)      Meninggalkan shalat tanpa meyakini kewajibannya, maka hukumannya adalah seperti hukumannya orang murtad.

2)      Meninggalkan shalat karena malas, maka dia diminta bertaubat. Kalai ia sudah bertaubat dan mau shalat (maka ia tidak dikenakan hukuman apapun). Tapi kalau tidak mau bertaubat maka dia harus dibunuh (karena melaksanakan) had. Adapun hukumannya sdalah sebagai hukumannya orang islam.[17]

C.    TA’ZIR

a.       Pengertian ta’zir

Ta’zir secara etimologis berarti menolak atau mencegah. Dalam dunia pesantren, istilah ta’zir diartikan sebagai suatu pelajaran atau pendidikan dalam bentuk hukuman tertentu terhadap santri yang karena suatu sebab, misalnya kesiangan shalat subuh atau tidak ikut mengaji tanpa ada alas an yang benar. Hukuman tersebut bertujuan mencegah yang bersangkutan menjadi jera.[18]  Sebagian ulam mengartikan ta’zir sebagai hukuman yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak Allah dan hak hamba yang tidak ditentukan Al-Qur’an dan Hadis ta’zir berfungsi memberikan pengajaran kepada yang terhukum dan sekaligus mencegahnya untuk tidak mengulangi perbuatan serupa. Sebagian lain mengatakan sebagai sebuah hukuman terhadap perbuatan maksiat yang tidak dihukum dengan hukuman had atau kafarat. [19]

b.      Jarimah ta’zir

Jarimah ta’zir adalah jarimah yang sebagian terbesar jarimahnya dan seluruh sanksinya ditentukan penguasa. Namun ada sebagian kecil jarimah ta’zir yang ditentukan syara’ walupun dalam hal hukuman diserahkan kepada kebijaksanaan ulul amri.

Bagi jarimah ta’zir tidak diperlukan asas legalitas secara khusus, seperti pada jarimah hudud dan qishash diyat. Artinya setiap jarimah ta’zir hingga sulit dihitung, melainkan juga sifat jarimah ta’zir itu sendiri yang labil dan fluktuatif, bisa berkurang atau bisa bertambah sesuai keperluan. Oleh karena itu, menentukan secara baku jenis-jenis jarimah ta’zir tidak efektif sebab suatu saat akan berubah. Itulah sebabnya, azas legalitas jarimah ini sangat longgar, tidak seperti jarimah-jarimah yang termasuk dalam kelompok hudud(termasuk qishash diyat) yang asas legalitasnya sangat ketat, yaitu satu hukuman untuk satu jarimah atau setidak-tidaknya ditentukan hukuman-hukumannya. Dalam jarimah ta’zir, bisa saja satu asas legalitas untuk beberapa jarimah atau untuk beberapa jarimah yang mempunyai kesamaan tidak diperlukan ketentuan khusus. Cukup, apabila jarimah tersebut mempunyai sifat-sifat jarimah yang ditentukan secara umum. Itulah yang dimaksud dengan sifat asas legalitas jarimah ta’zir longgar atau elastics.[20]

c.       Pembagian Ta’zir

Jarimah ta’zir yang ditentukan syara’ telah dianggap jarimah sejak diturunkannya syari’at islam dan itu akan terus  dianggap jarimah sampai kapanpun, tanpa ada kemungkinan untuk tidak dianggap sebagai jarimah. Bila dilihat dari sumbernya ada dua bentuk jarimah ta’zir, yaitu ta’zir penguasa (ulul amri) dan jarimh ta’zir syara. Persamaan dari kedua jenis jarimah ta’zir adalah sanksi hukum jarimah ta’zir penguasa maupun jarimah ta’zir disebutkan oleh syara. Sedangkan perbedaannya adalah ta’zir penguasa seperti telah dijelaskan bersifat temporer dan insidentil, yaitu bila perlu dianggap sebagai jarimah, sedangkan jarimah ta’zir syara bersifat abadi dan selamanya dianggap jarimah.[21]

d.      Prinsip Penjatuhan Hukuman

Terutama yang berkaitan dengan ta’zir yang menjadi wewenang penuh ulul amri, artinya baik bentuk maupun jenis hukumannya merupakan hak penguasa, ditujukan untuk menghilangkan sifat-sifat mengganggu ketertiban atau kepentingan umum, yang bermuara pada kemaslahatan umum. ketertiban umum atau kepentingan umum sebagaimana kita ketahui sifatnya labil dan berubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan. Seandainya suatu saat “kepentingan” tersebut sudah tidak penting lagi, atau sudah tidak maslahat lagi, peraturannya harus diganti. Itu berarti suatu yang dianggap jarimah pada suatu waktu atau suatu tempat, dianggap bukan jarimah pada waktu yang lain atau tempat yang lain, kalau kriteria kemaslahatan atau kepentingannya sudah tidak tampak lagi. [22]

e.        Tujuan Penjatuhan Ta’zir

Hukuman ta’zir kadangkala dijatuhkan sebagai hukuman tambahan yang menyertai hukuman pokok bagi jarimah hudud atau qishash diyat. Hukuman ta’zir dilihat dari segi penjatuhannya terbagi dalam beberapa tujuan. Pertama hukuman ta’zir sebagai hukuman tambahan atau pelengkap hukuman pokok. Hukuman pengasingan selama satu tahun dalam kasus pezina ghair muhsan menurut mazhab hanafi- merupakan contoh bentuk hukuman tambahan, yang mengiringi hukuman pokok seratus kali jilid pada jarimah hudud.[23]  Kedua, hukuman ta’zir sebagai hukuman pengganti hukuman pokok. Seperti yang telah kita ketahui, hukuman pokok pada setiap jarimah hanya dijatuhkan apabila semua bukti secara meyakinkan dan tanpa adanmya keraguan sedikit pun mengarah pada perbuatan tersebut.

 Contoh hukuman ta’zir sebagai hukuman pengganti misalnya: berzina dan menuduh zina apabila meyakinkan dan tak ada unsur keraguan, dalam jarimah yang berkaitan dengan pencurian dan perampokan. Ketiga, hukuman ta’zir sebagai hukuman pokok bagi jarimah ta’zir syara’.[24]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Qishash adalah istilah dalam Hukum Islam yang berarti pembalasan, mirip dengan istilah "hutang nyawa dibayar nyawa". Dalam kasus pembunuhan hukum qisas memberikan hak kepada keluarga korban untuk meminta hukuman mati kepada pembunuh. Menurut pengertian syariat islam, qishash ialah pembalasan yang serupa atau setimpal bagi orang yang melakukan pembunuhan, melukai, merusak anggota tubuh atau menghilangkan fungsi yang dilakukan dengan sengaja.

Hudud adalah bentuk jama’ dari kata hadd yang berarti mencegah. Disebut hudud karena hukuman itu dapat mencegah terjadinya perbuatan yang mengakibatkan jatuhnya hukuman. Kejahatan yang diancam dengan hukuman hudud/had adalah zina, qadzaf (menuduh berzina), meminum minuman keras, mencuri, merampok dan bughah (memberontak), riddah dan meninggalkan shalat.

Pelanggaran hak Allah dan hak hamba adalah suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir, pelaksanaan hukuman ta’zir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah ataupun perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.

B.     Saran

Karena keterbatasan pengetahuan kami, sehingga makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu bagi teman-teman yang ingin lebih memahami syariat Islam, khususnya tentang masalah qishash, hudud dan ta’zir kami sarankan untuk bertanya langsung pada para ulama atau mencarinya dari sumber-sumber lain seperti buku atau kitab-kitab fiqih Islam, ataupun tambahan dari bapak Dosen juga teman-teman apabila dari makalah kami ad hal yang keliru mohon untuk diperbaiki.

                                                  

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuddin, Anas Tohir. 1982. Himpunan Hukum Islam. Surabaya: Al-Ikhlas

Djamali Abdul. 1989. Hukum Islam. Bandung: cv Mandar Maju

Team Guru PAI MA. 2014. Fiqih. Surabaya: Akik Pustaka

Rasjid, Sulaiman. 2007. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo

Hakim Rahmat, 1997. Hukum Pidana Islam. Bandung: Cv Pustaka Setia

Hadna Musthofa, 2011. Ayo Mengkaji Fikih. Ciracas: Erlangga



[1] Musthofa Hadna, Ayo Mengkaji Fikih. (Ciracas: Erlangga, 2011), h.6

[2]Ibid. h.9

[3] Rahmat Hakim, hukum pidana islam (fiqh jinayah),( bandung: Cv Pustaka Setia, 1997), hlm.126

[4] Team guru PAI MA, Fiqih (Surabaya: Akik Pusaka, 2014), h.25                   

[5] Anas Thohir Sjamsuddin, Kitab Taqrib Himpunan Hukum Islam (Surabaya: Al-Ikhlas: 1982), h.         156

[6] opCit. Hlm. 25

[7] opCit. hlm. 27

[8]   Anas Thohir Sjamsuddin, Kitab Taqrib Himpunan Hukum Islam (Surabaya: Al-Ikhlas: 1982), h.157

[9] Abdul Djamali, Hukum Islam (Bandung: cv. Mandar Maju: 1989), h.193

[10] Ibid. h.193

[11] opCit. h.158

[12] Team guru PAI MA, Fiqih (Surabaya: Akik Pusaka, 2014), h.36-37

[13] Ibid. h.38

[14] Ibid. h.39-40

[15] Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesind,  2007) h. 444

[16] Ibid. h.445

[17] OpCit. h. 162                      

[18]  OpCit. hlm 140

[19] Ibid.hlm 141

[20] Ibid.hlm 142

[21] Rahmat Hakim, loc.Cit.

[22] Rahmat Hakim, loc.Cit.

[23] Ibid hlm 144

[24] Ibid hlm 145

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

  KATA PENGANTAR Segala puji syukur kita kehadirat Allah SWT. Karena atas limpahan karunianya, Rahmat, dan Hidayahnya yang berupa kesehata...